Selasa, 15 Januari 2013

Analisis Kasus Bagaimana Upaya Agar Bahasa Indonesia Menjadi Tuan Rumah Di Negara Sendiri



Bahasa adalah kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, dan sebuah bahasa adalah contoh spesifik dari sistem tersebut. Kajian ilmiah terhadap bahasa disebut dengan linguistik. Hal yang tidak mungkin untuk mengetahui secara tepat berapa banyak bahasa yang ada di dunia, dan jumlahnya bergantung kepada suatu perubahan sembarang antara perbedaan bahasa dan dialek

Bahasa manusia adalah unik di antara makhluk hidup di bumi karena strukturnya yang kompleks mampu memberikan kemungkinan ekspresi dan penggunan yang lebih luas daripada sistem komunikasi hewan yang diketahui, yang semuanya secara umum adalah sistem tertutup, dengan fungsi-fungsi yang terbatas dan kebanyakan diturunkan secara genetis daripada berpindah secara sosial. Berlawanan dengan bentuk komunikasi selain-manusia, bahasa manusia memiliki properti-properti produktivitas, rekursif, dan pergeseran. Bahasa manusia juga satu-satunya sistem yang banyak bergantung pada konvensi sosial dan pembelajaran. Bahasa dikatakan berasal sejak hominin pertama kali mulai bekerja sama, secara bertahap merubah sistem komunikasi primata mereka bersamaan dengan memperoleh kemampuan untuk membentuk suatu teori dari pikiran dan berbagi secara sengaja.

Bahasa Indonesia Belum Menjadi Primadona di Negeri Sendiri

Bahasa adalah pengantar bagi seorang penutur. Bahasa adalah lambang dimana kita dapat berkomunikasi dengan siapapun . Bahasa menjadi jalan untuk mempertemukan pikiran, jalan keluar dan kebiasaan seseorang. Bahkan bahasa bisa mencerminkan jati diri seseorang. Bahasa yang baik adalah bahasa yang mengandung makna baik bagi si penutur maupun bagi si pendengar.

Masih banyak yang harus di perbaiki dalam berbahasa,  terutama untuk kalangan para remaja. Remaja yang notabene adalah penerus bangsa yang masih dalam masa transisi harus menentukan jalan yang lebih baik untuk masa yang akan datang. Bahasa Indonesia yang kita kenal adalah bahasa pemersatu,  bahasa yang dikenal ramah bagi para penggunanya. Namun belakangan banyak kita dengar begitu banyak pelesatan yang dipakai dalam bahasa Indonesia. Terutama untuk mengungkapkan hal-hal kecil, banyak orang menggunakan istilah - istilah yang kita impor dari negara lain. Contoh nya saja untuk mengucapkan kata “terima kasih” kita lebih cenderung mengucapkan  “thanks”, kata maaf menjadi “sorry”. Ya hal itu semata-mata dipakai agar sipenutur dianggap orang hebat atau apalah.

Belum lagi, permasalahan yang sangat pelik adalah bagi si pencari kerja. Hampir semua persyaratan yang tertulis di lowongan kerja menggunakan bahasa Inggris. Aneh memang, di negeri sendiri kita dituntut harus menguasai bahasa asing dan bahasa kita seakan-akan terasing atau diasingkan. Entah apa maksud dan tujuan diberlakukan nya persyaratan demikian. Apa karena banyak investor nya orang asing?  Sah-sah saja kalau si pelamar diminta tahu berbahasa Inggris, tapi bukan berarti itu dijadikan momok yang berkepanjangan. Saya tidak malu mengungkapkan kebenaran yang terjadi di lapangan, saat seorang pengangguran terdidik ataupun tidak dituntut untuk mengetahui bahasa Inggris.

Ada banyak hal yang telah menjadikan bangsa ini tidak lagi mengerti makna bahasa Indonesia yang sesungguhnya. Bahkan sekarang ini anak-anak yang masih berumur 3 tahun sudah ikut kursus bahasa asing. Ada apa dengan bahasa Indonesia? Apakah layak seorang anak yang masih berumur 3 tahun menekuni sebuah bahasa yang jelas-jelas bukan bahasa Ibu mereka yang sering mereka dengarkan setiap hari. Saya cuma minta para orang tua dibuka pikirannya tentang ini. Biarkan anak-anak berkembang dengan bahasa Indonesia. Jangan paksakan bahasa asing merajai bahasa Indonesia. Kadangkala, dengan bangganya seorang ibu mengatakan anak saya sudah bisa berbahasa Inggris meski baru berumur 3 tahun. Padahal Bahasa Indonesia sendiri masih harus dipelajari di usia dini seperti itu.

Dilain kasus, ada seorang guru Bahasa Indonesia yang ingin melamar di sebuah sekolah swasta, dimana sekolah tersebut menuntut agar setiap guru menguasai Bahasa Inggris. Lucu nya, bahasa Inggris dipakai sebagai bahasa pengantar pada jam pelajaran bahasa Indonesia. Wah, betapa herannya bangsa ini. Ada apa dengan pola pikir kita? Apa yang sudah meracuni pikiran kita seakan akan bahasa indonesia tidak lagi menjadi bahasa pengantar yang mempersatukan, melainkan bahasa penutur bagi bahasa yang hampir terasing.

Saya bangga menjadi salah satu bagian dari bangsa ini, terutama bagian dari bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa yang harus dikenal, dirasakan dan dipakai untuk dapat mengkomunikasikan pikiran kepada siapapun. Meski demikian saya tidak hanya membuka realita yang benar-benar terjadi di lingkungan saya sendiri, melainkan memberikan pandangan ke depan, agar kita tetap mencintai Bahasa yang telah mempersatukan siapapun yang ada di dalamnya. Mempersatukan saya yang berasal dari Aceh atau anda yang berasal dari Minangkabau, atau anda seorang Melayu atau anda berasal dari Jawa, atau anda seorang Sulawesi. Entah apa pun suku bangsa kita, jadikanlah bahasa Indonesia menjadi primadona di negeri sendiri sebagai alat bertutur yang tepat.


Mempertahankan Jati Diri di Negeri Sendiri

Berniat mengetahui tentang kedudukan bahasa Indonesia di tanah air sendiri, sampailah penulis di sebuah situs milik Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tercantum di dalamnya mengenai Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia yang notabene merupakan tes untuk mengukur kemampuan berbahasa Indonesia melaui tes tertulis dan lisan yang sasarannya adalah karyawan instansi pemerintah maupun swasta. Timbul pertanyaan apakah uji ini cukup efektif dan menarik untuk dilakukan sementara bahasa Indonesia semakin termarginalkan di tengah kompetisi global dan justru tidak dianggap lebih penting untuk ditonjolkan dibandingkan bahasa asing.

Bahasa Indonesia, Bahasa Nasional, Karakter Bangsa

Bahasa merupakan ciri utama dari identitas manusia serta simbol nasional dan identitas etnik yang kuat. Ketika mendengar seseorang berbicara, kita dapat langsung menduga gender, level pendidikan, umur, profesi dan asal orang tersebut (Spolsky, 1999). Sebagai bahasa nasional yang mempunyai kedudukan sebagai lambang kebanggaan, lambang identitas, alat pemersatu dan alat penghubung antardaerah, maka semakin bahasa Indonesia memasyarakat dan mengakar dalam diri setiap warganya, semakin kuatlah jati diri mereka sebagai bangsa Indonesia. Sayangnya, terkadang justru masyarakat Indonesia tidak merasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Kurang intensifnya pelatihan bahasa Indonesia bagi warga negara asing yang belajar di Indonesia masih kerapkali kita temui di berbagai daerah. Hal ini berkebalikan dengan Jepang, dimana negeri sakura tersebut mewajibkan pelatihan bahasa Jepang bagi warga negara asing yang belajar di negeri tersebut. Masyarakat Jepang merasa bangga dengan bahasa yang mereka gunakan, dan justru dengan arogansi bahasa itulah, kita dapat melihat cerminan jati diri dan karakter yang kuat dari bangsa tersebut. 

Terlalu Banyak Persaingan

Selain sebagai bahasa nasional, peran bahasa Indonesia sebagai bahasa negara pun semakin termarginalkan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang berkedudukan sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi terasa belum maksimal digunakan. Bahasa Indonesia seperti kurang menarik untuk dieksplorasi oleh para penggunanya. 

Kompetisi global membuat bahasa asing, contohnya  bahasa Inggris makin marak diminati, berkebalikan dengan minat terhadap bahasa Indonesia. Menurut Alwasilah (2007), tujuan pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah mempersiapkan pelaku dan pelibat komunikasi abad ke-21 sebagai abad kesejagatan dan persaingan. Bahkan dikatakan pula penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris adalah strategi kebudayaan agar mereka dapat bersaing dengan bangsa lain. Kedudukan Indonesia sebagai negara berkembang menyebabkan perdagangan bebas mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola interaksi pelaku pasar dan dengan keterbatasan pembatasan budaya asing yang masuk, perusahaan multinasional berlomba-lomba untuk menerapkan standar kompetensi penguasaan bahasa asing. 

Bahasa Indonesia dianggap tidak telalu penting untuk diperhatikan, distandardisasi dan dipelajari lebih dalam. Padahal menurut Suhendra dan Supinah (1997), seperti halnya tujuan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia yang diadakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia yang telah dibahas di atas, sebagai bahasa resmi  kenegaraan, penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan seperti penerimaan karyawan baru dan kenaikan pangkat.

Sementara di dunia kerja bahasa Indonesia bersaing dengan bahasa asing, lain halnya dengan lingkungan remaja yang telah dirambahi oleh fenomena bahasa gaul dan variasinya. Alasan kreatifitas, keisengan dan eksistensi suatu kelompok membuat bahasa gaul dan variasinya telah semakin diminati, tidak hanya di Jakarta sebagai kiblat bahasa gaul, berkat media sosial, bahasa gaul telah banyak digunakan di luar Jawa. Bahasa tidak baku pun semakin sering digunakan. Bahasa tidak baku yang dipakai sehari-hari bakan kerapkali dapat kita saksikan dalam wawancara dan gelar wicara yang ditayangkan televisi nasional.

Peran Kita sebagai Warga Negara

Suhendar dan Supinah (1997) menyatakan bahwa unsur-unsur bahasa yang tidak diperlukan disebabkan oleh kekaburan pembedaan kedudukan. Kedudukan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional menjadi semakin kabur jika bercampur aduk dengan bahasa Ibu dan bahasa asing. Pendidikan bahasa Indonesia seorang anak dimulai dari lingkungan keluarga. Selain bahasa ibu yang sering digunakan orangtua sebagai bahasa pengantar, sebaiknya orang tua dapat memperkenalkan penggunaan bahasa indonesia yang baik dan benar. Penanaman bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang digunakan sebagai penghubung dapat dilakukan semenjak dini, sementara bahasa ibu tetap dapat dilestarikan dan diajarkan berdasarkan kondisi lingkungan. 

Bahasa Indonesia sebagai bahasa kebudayaan juga semakin kabur dengan tenggelamnya karya-karya sastra, baik klasik maupun modern di tengah gempuran globalisasi. Merujuk pada apa yang dilakukan pemerintah kolonial yang membendung bahasa melayu pasar dengan mempromosikan bahasa melayu tinggi dalam bentuk karya sastra melalui Balai Pustaka, hal yang sama dapat dilakukan saat ini, baik oleh pemerintah maupun masyarakat umum. Karya sastra modern dan klasik dapat dipromosikan di berbagai acara seperti pada bulan bahasa. Bulan bahasa sendiri pada kenyataannya tidak banyak diketahui oleh khalayak luas. 

Dalam insitusi pendidikan, penghayatan anak dalam berbahasa Indonesia antara lain disebabkan oleh kurangnya minat baca dan tulis. Memperbanyak praktek mengarang dan membaca buku berbahasa Indonesia, misalnya dalam memperkenalkan karya-karya sastrawan dari era ke era harapannya dapat menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa sekaligus sastra Indonesia. Pembentukan majalah sastra berskala nasional sebagai wadah ekspresi kecintaan dan pelestarian bahasa  dan budaya Indonesia, layaknya pembentukan majalah Angkatan Pujangga Baru pada tahun 1933 pun dapat dilakukan dengan diinisiasi oleh pemerintah atau para sastrawan dan budayawan Indonesia.

Bahasa Indonesia sebagai alat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sering berkiblat dan menyerap istilah asing, akan tetapi, dalam berbagai makalah ilmiah, sering dijumpai penggunaan bahasa asing yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi pembaruan istilah-istilah asing yang telah dilakukan pemerintah dan dimasukkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kerjasama institusi pendidikan dengan lembaga pemerintahan, dalam hal ini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dapat diupayakan, sehingga guru berbagai mata pelajaran dapat memperbarui dan berbagi istilah baru untuk diperkenalkan terhadap murid-murid. Pun sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan, guru perlu menerapkan bahasa Indonesia secara baik dan benar sebagai bahasa penghubung ketika mengajar, walaupun diawali dengan penggunaan kata-kata yang sederhana.

 Adanya uji kompetensi terstandar, dalam hal ini tes uji kemahiran berbahasa Indonesia, dapat dilakukan per jenjang pendidikan, dari sekolah dasar hingga jenjang sarjana. Uji ini dapat dilakukan bersinergi dengan ujian akhir nasional dan disesuaikan dengan kurikulum pembelajaran. Hingga saat ini, berdasarkan data pada situs Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia, uji Kemahiran Berbahasa Indonesia kebanyakan hanya diikuti oleh guru-guru bahasa Indonesia, dan tidak terhadap murid.

Pengenalan bahasa dan sastra Indonesia terhadap generasi muda dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih menyenangkan, seperti perlombaan atau kompetisi. Berkembang dari perlombaan menulis atau membaca puisi, dapat pula diadakan perlombaan mengarang dan membaca karya tulis, cerita pendek maupun karya sastra lain semenjak di bangku sekolah dasar.  Penghargaan untuk pendidik yang telah dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa saat ini merupakan upaya yang baik agar bahasa Indonesia dapat lebih dihargai dengan semangat kompetisi. 

Upaya lain seperti pemilihan duta bahsa pun patut diapresiasi, walaupun penulis merasa kurangnya sosialisasi terhadap hal tersebut. Sebagai generasi muda, kreatifitas patutlah diapresiasi asalkan tidak berlebihan. Keingintahuan anak muda yang besar sepatutnya dapat pula disalurkan pada berbagai identitas bangsa Indonesia, termasuk bahasa di dalamnya. Peran media massa dan elektronik pun dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk mensosialisasikan program-program pemerintah sehingga bahasa Indonesia lebih memasyarakat, tapi juga menjadi contoh dan panutan dalam penggunaan bahasa indonesia yang baik dan benar.




Referensi
Alwasilah, Chaedar. 2007. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia: Dalam Konteks Persaingan Global. Bandung: CV. Andira.
Spolsky, B. 1999. Second-language learning. In J. Fishman (Ed). Handbook of language and ethnic identity (pp. 181-192). Oxford: Oxford University Press.
Suhendar dan Supinah. 1997. Bahasa Indonesia Pengajaran dan Ujian Keterampilan Membaca dan Keterampilan Menulis. Bandung: Pionir Jaya.
Suhendar dan Supinah. 1997. MKDU Bahasa Indonesia. Bandung: Pionir Jaya.
 



·         Selamat berbahasa Indonesia. Merdeka...!

Pengaruh Bahasa Asing Dalam Perkembangan Bahasa Indonesia




Latar Belakang

Setiap negara mempunyai media komunikasi untuk memperlancar suatu hubungan antar individu. Alat komunikasi ini kita biasa disebut dengan bahasa.
Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat untuk berkomunikasi, bekerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer,sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya.
Sebagian besar bahasa yang ada di dunia pasti di pengaruhi oleh bahasa lainnya, tidak terkecuali bahasa Indonesia . Pengaruh tersebut biasa datang dari bangsa berbahasa lain yang pernah mengunjungi daerah tersebut. Dalam konteks bahasa Indonesia,  pengaruh tersebut terutama datang dari bangsa yang pernah menjajah negeri ini, seperti Belanda, Inggris, Portugis danJepang. Selain dari bangsa penjajah, pengaruh juga datang dari bangsa yang pernah berdagang dengan penduduk negeri ini, seperti Arab, Cina, Persia, dan India. Bahasa Sansekerta juga memberikan pengaruh karena bahasa ini dijadikan sebagai bahasa sastra dan perantara dalam penyebaran agama Hindu dan Buddha. Seluruh pengaruh tadi membentuk kata-kata serapan dalam bahasa Indonesia yang dipakai hingga saat ini.

Telah berabad-abad lamanya nenek moyang penutur bahasa Indonesia berhubungan dengan berbagai bangsa di dunia. Bahasa Sanskerta tercatat terawal dibawa masuk ke Indonesia yakni sejak mula tarikh Masehi. Bahasa ini dijadikan sebagai bahasa sastra dan perantara dalam penyebaran agama Hindu dan Buddha. Agama Hindu tersebar luas di pulau Jawa pada abad ke-7 dan ke-8, lalu agama Buddha mengalami keadaan yang sama pada abad ke-8 dan ke-9.

Penggunaan bahasa asing dan kosa kata yang berasal dari bahasa asing, khususnya bahasa Inggris sering digunakan di dalam penulisan berita surat kabar.  Selain itu juga sering digunakan dalam siaran televisi, baik yang berupa berita maupun yang berbentuk perbincangan. Yang terpenting adalah kosa kata yang sering digunakan pada surat kabar, majalah, televisi, radio,ceramah, perbincangan bahkan percakapan sehari-hari itu dicari padanan dan artinya agar mudahdi mengerti dan dipahami oleh pemakai bahasa. 

Berdasarkan taraf integrasinya, kata serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi 2 golongan besar. Pertama, kata serapan yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasaIndonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, long march, dan lain-lain. Kata-kata ini dipakai dalamkonteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing. Kedua, kataserapan yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya. 

Bahasa yang paling banyak diserap kata-katanya dalam bahasa Indonesia adalah bahasa Belanda yang mencapai 3.280 kata. Hal ini antara lain disebabkan oleh lamanya masa penjajahan bangsa Belanda yang mencapai 3,5 abad. Bahasa Belanda dipakai hingga masa pergerakan kemerdekaan dalam komunikasi gagasan kenegaraan dan tentunya juga dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Contoh kata-kata yang diserap dari bahasa Belanda adalah advokat (advocaat), brankas (brandkast), demokrasi (demokratie), eksemplar (exemplaar), dan lain-lain.

Selain kata-kata serapan, ada sejumlah kata tidak mengalami penyerapan, tetapi masih dipakaidalam bentuk percakapan lisan tidak dalam bentuk tulisan. Contoh dari kata-kata tersebut adalah aanval (serangan jantung), brandweer (pemadam kebakaran), verboden (dilarang), dan lain-lain.
Sesudah Indonesia merdeka, pengaruh bahasa Belanda mula surut sehingga kata-kata serapan yang sebetulnya berasal dari bahasa Belanda sumbernya tidak disadari betul. Bahkan sampai dengan sekarang yang lebih dikenal adalah bahasa Inggris.

Bahasa selanjutnya yang menempati peringkat kedua dalam penyerapan kata-katanya adalah  bahasa Inggris. Jumlah kata yang diserap dari bahasa ini adalah sebanyak 1.610 kata. Contoh kata-kata yang diserap dari bahasa Inggris adalah aktor (actor), aktris (actress), bisnis (business), departemen (department), dan lain-lain. Seperti telah disebutkan sebelumnya, banyak katatermasuk dari bahasa Inggris yang belum sepenuhnya diserap sehingga pemakaiannya masih dalam bentuk aslinya. Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional dan dipakai secara luas dinegeri ini hingga masa yang akan datang. Hal tersebut memungkinkan penyerapan kata yanglebih banyak lagi dari saat ini

Sebab-Sebab Terjadinya Variasi Penggunaanbahasa Asing Di Indonesia
 a) Interferensi
 Heterogenitas Indonesia dan disepakatinya bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional berimplikasi bahwa kewibawaan akan berkembang dalam masyarakat.  Perkembanngan ini tentu menjadi masalah tersendiri  yang perlu mendapat perhatian,  kedwibahasaan, bahkan kemulti bahasaan adalah suatu kecenderungan yang akan terus berkembang sebagai akibat globalisasi. Di samping segi positifnya, situasi kebahasaan seperti itu berdampak negatif terhadap penguasaan Bahasa Indonesia.  Bahasa daerah masih menjadi proporsi utama dalam komunikasi resmi sehingga rasa cinta terhadap bahasa Indonesia harus terkalahkan oleh bahasa daerah.

Alwi, dkk.(eds.) (2003: 9), menyatakan bahwa banyaknya unsur pungutan  dari bahasa Jawa, misalnya dianggap pemerkayaan bahasa Indonesia, tetapi masuknya unsur pungutan bahasa Inggris oleh sebagian orang dianggap pencemaran keaslian dan kemurnian bahasa kita. Hal tersebut yang menjadi sebab adanya interferensi.  Chaer (1994: 66) memberikan batasan interferensi adalah terbawa masuknya unsur bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang digunakan sehingga tampak adanya penyimpangan kaidah dari bahasa yang digunakan itu.

Selain bahasa daerah,  bahasa  asing (baca Inggris) bagi sebagian kecil orang Indonesia ditempatkan di atas bahasa Indonesia. Faktor yang menyebabkan timbulnya sikap tersebut adalah pandangan sosial ekonomi dan bisnis. Penguasaan bahasa Inggris yang baik menjanjikan kedudukan dan taraf sosial ekonomi yang jauh lebih baik dari pada hanya menguasai bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Inggris di ruang umum telah menjadi kebiasaan yang sudah tidak terelakkan lagi. Hal tersebut mengkibatkan lunturnya bahasa dan budaya Indonesia yang secara perlahan tetapi pasti telah menjadi bahasa primadona.  Misalnya, masyarakat lebih cenderung memilih

“pull” untuk “dorong” dan “push” untuk “tarik”, serta “welcome” untuk “selamat datang”.

 Sikap terhadap bahasa Indonesia yang kurang baik terhadap kemampuan berbahasa Indonesia diberbagai kalangan, baik lapisan bawah, menengah, dan atas; bahkan kalangan intelektual. Akan tetapi, kurangnya kemampuan berbahasa Indonesia pada golongan atas dan kelompok intelektua lterletak pada sikap meremehkan dan kurang menghargai serta tidak mempunyai rasa bangga terhadap bahasa Indonesia.

b) Integrasi
 Selain interferensi, integrasi juga dianggap sebagai pencemar terhadap bahasa Indonesia. Chaer(1994:67), menyatakan bahwa integrasi adalah unsur-unsur dari bahasa lain yang terbawa masuk sudah dianggap, diperlakukan, dan dipakai sebagai bagian dan bahasa yang menerima atau yangmemasukinya. Proses integrasi ini tentunya memerlukan waktu yang cukup lama, sebab unsur yang berintegrasi itu telah disesuaikan,  baik lafalnya, ejaannya, maupun tata bentuknya. Contoh kata yang berintegrasi antara lain montir, riset, sopir, dongkrak.
 
Potret Bahasa Indonesia dalam EraGlobalisasi
Era globalisasi akan menyentuh semua aspek kehidupan, termasuk bahasa. Bahasa yang semakinglobal dipakai oleh semua bangsa di dunia ialah bahasa Inggris, yang pemakainya lebih dari satumiliar manusia. Akan tetapi, sama halnya dengan bidang kehidupan lain, sebagaimanadikemukakan oleh Naisbit (1991) dalam bukunya Global Paradox, akan terjadi paradoks-paradoks dalam berbagai komponen kehidupan, termasuk bahasa.
Bahasa Inggris, misalnya,walaupun pemakainya semakin besar sebagai bahasa kedua, masyarakat suatu negara akansemakin kuat juga memertahankan bahasa aslinya.Seperti di Islandia, sebuah negara kecil di Eropa, yang jumlah penduduknya sekitar 250.000orang, walaupun mereka dalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Inggris sebagaibahasa kedua, negara ini masih memertahankan kemurnian bahasa pertamanya dari pengaruhbahasa Inggris.

Demikian juga di negara-negara pecahan Rusia seperti Ukraina, Lithuania,Estonia (yang memisahkan diri dari Rusia) telah menggantikan semua papan nama di negaratersebut yang selama itu menggunakan bahasa Rusia.Bagaimana halnya dengan di Indonesia? Di Indonesia, fenomena yang sama pernah dilakukandengan pengeluaran Surat Menteri Dalam Negeri kepada gubernur, bupati, dan walikota seluruhIndonesia Nomor 1021/SJ tanggal 16 Maret 1995 tentang Penertiban
Penggunaan Bahasa Asing.Surat itu berisi instruksi agar papan-papan nama dunia usaha dan perdagangan di seluruhIndonesia yang menggunakan bahasa asing agar diubah menjadi bahasa Indonesia. Ketika awalpemberlakukan peraturan tersebut, tampak gencar dan bersemangat usaha yang dilakukan olehpemerintah daerah di seluruh Indonesia

Kedudukan Bahasa Nasional dan BahasaAsing

Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia yang merupakan bahasa asing pertama. Kedudukan tersebut berbeda dengan bahasa kedua. Mustafa dalam hal ini menyatakan bahwa bahasa kedua adalah bahasa yang dipelajari anak setelah bahasa ibunya dengan ciri bahasa tersebut digunakan dalam lingkungan masyarakat sekitar. Sedangkan bahasa asing adalah bahasa negara lain yang tidak digunakan secara umum dalam interaksi sosial. 

Kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia tersebut mengakibatkan jarang di gunakannya Bahasa Inggris dalam interaksi sosial di lingkungan anak. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Inggris karena pemerolehan bahasa asing bagi anak berbanding lurus dengan volume, frekuensi dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.

Pelaksanaan program pembelajaran dengan pengantar Bahasa Inggris tersebut mendapat berbagai kendala mengingat kedudukan Bahasa Inggris di Indonesia sebagai first foreign languange (bahasa asing pertama). Artinya, Bahasa Inggris hanya menjadi bahasa pada kalangan tertentu, tidak digunakan oleh masyarakat umum seperti jika kedudukannya sebagai bahasa kedua. Hal ini menyebabkan kurangnnya interaksi anak terhadap Bahasa Inggris. Selain ituterdapat juga berbagai pendapat mengenai pemerolehan bahasa kedua atau bahasa asing yangbisa mempengaruhi perkembangan bahasa ibu.

Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa secara umum terjadi masalah jika anak dikenalkan pada dua bahasa secara bersamaan pada usia dini. Terutama ketika dikenalkan pada usia prasekolah setelah bahasa ibu sudah sering digunakan.  Pendapat lainnya menjelaskan bahwa jika bahasa kedua dikenalkan sebelum bahasa pertama benar-benar terkuasai, maka bahasa pertama perkembangannya akan lambat dan bahkan mengalami regresi. Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa bahasa kedua akan terperoleh ketika bahasa pertama sudah dikuasai.

Berbagai pendapat tersebut menjadi permasalahan tersendiri mengenai pembelajaran anak usia dini yang menggunakan Bahasa Inggris dalam konteks Bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia. Perlu pengembangan program yang mapan dan berkesinambungan untuk menciptakan suatau program yang memang efektif untuk diterapkan di lembaga Pendidikan Anak Usia Dini(PAUD) di Indonesia, mengingat kedudukan Bahasa Inggris itu sendiri sebagai first foreign language.


http://www.scribd.com
 

Senin, 14 Januari 2013

Iklim Global Makin Kacau

Belahan bumi utara dan selatan sama-sama menghadapi cuaca ekstrem. Saat ini terjadi ekstrem dingin di belahan utara, seperti Cina mengalami cuaca dingin terburuk dalam 28 tahun terakhir dan Timur Tengah mengalami badai salju terburuk dalam 30 tahun terakhir. Sebaliknya, di belahan selatan, gelombang panas ekstrem menghantam Australia.
 
Fenomena yang terjadi merupakan ulangan. Ini menunjukkan fenomena alam berlangsung normal," kata Zadrach Ledoufij Dupe dari Departemen Meteorologi, Institut Teknologi Bandung (ITB).
 
Zadrach mengatakan, dibutuhkan kelengkapan data statistik untuk mengetahui fenomena cuaca ekstrem yang menyengsarakan tersebut. Ada kemungkinan di antara enam komponen iklim sekarang makin terusik. Hal itu mengakibatkan perubahan iklim yang meningkatkan intensitas cuaca ekstrem.
 
Badan Meteorologi Cina menyebutkan, sejak akhir November 2012, suhu rata-rata musim dingin di Cina 3,8 derajat celsius di bawah nol atau 1,3 derajat lebih dingin daripada suhu rata-rata tahun-tahun sebelumnya. Badan Meteorologi Cina, menyebutkan suhu musim dingin kali ini paling buruk dalam 28 tahun terakhir.
 
Sejumlah negara di Timur Tengah mengalami gelombang dingin ekstrem, di antaranya menyebabkan banjir bandang di sejumlah wilayah dan badai salju terburuk.
 
Yordania, salah satu negara di Timur Tengah, menetapkan Rabu (9/1) sebagai hari libur nasional. Ini karena cuaca sangat dingin. Ibu kota Yordania, Amman, juga tertutup tumpukan salju. Pengamat cuaca di Yordania menyebutkan, badai salju kali ini terburuk dalam 30 tahun terakhir.
 
Kondisi sebaliknya, cuaca panas ekstrem, berlangsung di beberapa negara bagian Australia, antara lain Tasmania, Victoria, New South Wales, dan Queensland. Saat ini ribuan warga Australia mengungsi akibat gelombang panas yang menyebabkan kebakaran. Puluhan ribu hewan ternak menjadi korban amukan api.
 
Enam komponen
 
Zadrach memaparkan, enam komponen perubahan iklim meliputi atmosfer (udara), litosfer (daratan), hidrosfer (perairan), kriosfer (tutupan es), biosfer (makhluk hidup), dan humanosfer (manusia). Penyebab cuaca ekstrem secara umum dapat dikaitkan dengan terusiknya satu atau beberapa dari enam komponen iklim tersebut.
 
Humanosfer, menurut Zadrach, merupakan komponen perubahan iklim akibat ulah manusia yang saat ini paling berperan. Namun, menunjuk penyebab pasti cuaca ekstrem tidak sesederhana itu.
 
Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin Aldrian mengatakan, fenomena alam berupa gelombang Rossby di wilayah kutub hingga subtropis di Eropa bergerak ke timur.
 
"Fenomena pergerakan gelombang Rossby ini yang menimbulkan gelombang dingin dan cuaca dingin di wilayah Rusia serta Cina hingga terjadi banjir dan badai salju di Timur Tengah," kata Edvin.
 
Belum ada kecukupan data untuk menunjuk penyebab pasti kejadian cuaca ekstrem, seperti suhu rata-rata musim dingin di Cina menjadi 3,8 derajat celsius di bawah nol atau 1,3 derajat lebih dingin dari rata-rata sebelumnya.
 
Badai salju terburuk dalam 30 tahun di Timur Tengah dapat dijelaskan. Edvin mengatakan, badai salju bisa disebabkan fenomena cold surge (seruak dingin).
 
Seruak dingin adalah pergerakan angin dari wilayah dingin dengan tekanan tinggi ke wilayah yang lebih panas dengan tekanan lebih rendah. Perbedaan tekanan udara mengakibatkan aliran udara. Perbedaan tekanan yang cukup tinggi bisa menyebabkan aliran udara menjadi angin kencang yang berlanjut menjadi badai salju.
 
Banjir bandang di Timur Tengah dipicu pengembunan akibat pertemuan udara dingin dan panas. Pengembunan menimbulkan hujan.
 
Ketika massa uap air hasil pengembunan dari seruak dingin berlimpah, terjadilah hujan lebat. Ini yang menimbulkan banjir bandang, seperti terjadi di Tepi Barat, Palestina.
 
Sementara suhu panas di Australia, Edvin mengatakan, hal itu disebabkan udara kering di wilayah Australia selatan yang sedang menerima sinar matahari terdekat selama berada di selatan khatulistiwa. Kebakaran pun mudah tersulut.
 
Variabilitas iklim dan cuaca kian hari kian menegangkan. Supaya tidak makin menyengsarakan, menurut Zadrach, sebaiknya manusia mengurangi kesalahan dan tidak mengusik enam komponen iklim.
 
Panas Berpotensi Munculkan Badai
 
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Ahad (13/1), menginformasikan, suhu muka laut menghangat di Laut Arafura dan Samudra Pasifik sebelah timur Filipina. Hal ini memicu kembali siklon tropis yang menimbulkan gangguan cuaca di Indonesia.
 
Pumpunan angin terjadi memanjang dari Sumatera bagian selatan hingga Laut Banda. Ini menyebabkan peningkatan aktivitas pertumbuhan awan hujan pada pekan ini di wilayah Sumatera bagian tengah dan selatan, wilayah Jawa, serta Kalimantan bagian utara, barat, dan selatan.
 
Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan dan tengah, Maluku, Maluku Tenggara, serta Papua juga berpotensi mengalami gangguan cuaca berupa hujan lebat dan angin kencang.
 
"Terpicunya potensi badai di utara khatulistiwa, yakni di perairan timur Filipina, kini dipengaruhi kuatnya angin pasat dari tenggara atau perairan Pasifik timur Australia," kata Zadrach Leudofij Dupe dari Departemen Meteorologi Institut Teknologi Bandung (ITB).
 
Zadrach mengatakan, kuatnya angin pasat dari tenggara membawa suhu hangat. Saat ini suhu perairan Samudra Pasifik sebelah timur Australia meningkat karena pengaruh posisi matahari di selatan khatulistiwa.
 
Dampaknya, di Negara Bagian Tasmania, Australia, tercatat rekor suhu tertinggi mencapai 41 derajat celsius sejak pencatatan dilakukan pada 1880-an.
 
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terus memantau perkembangan kondisi tekanan rendah di perairan Arafura dan timur Filipina. Menurut Kepala Pusat Meteorologi BMKG Mulyono Prabowo, peluang terjadinya siklon tropis pada Januari masih satu kali.
 
Sementara itu, siklon tropis Narelle masih berlangsung di Samudra Hindia, 1.900 kilometer barat daya Denpasar, Bali. Dalam 72 jam ke depan diperkirakan siklon terus melemah dan akan meluruh ketika memasuki daratan Australia barat.
 
Menurut BMKG, siklon Narelle masih berdampak pada tingginya gelombang laut. Gelombang setinggi 3-4 meter berpeluang terjadi di perairan barat Lampung, Selat Sunda bagian selatan, perairan selatan Jawa sampai Nusa Tenggara, perairan selatan Pulau Sumba, perairan Pulau Sawu, Pulau Rote sampai Kupang, dan Laut Timor. Gelombang setinggi 4-5 meter berpeluang terjadi di Samudra Hindia selatan Jawa hingga Nusa Tenggara.
 
http://indonesian.irib.ir/cakrawala-indonesia

Peradaban Atlantis Nusantara

Membicarakan mengenai Atlantis seolah memang tidak akan pernah ada habisnya. Atlantis sendiri secara tidak langsung melambangkan masyarakat utopis yang luar biasa ideal, dan inilah sebabnya peradaban ini menjadi salah satu yang paling menarik untuk terus diteliti dan diperbincangkan. Tempat ini disebutkan pertama kali oleh filsuf Plato dari Yunani Kuno sekitar abad 4 SM, dan sampai sekarang tidak kurang dari 500 buku dan film telah ditulis dan diangkat berdasarkan benua legendaris yang konon ditenggelamkan di dasar samudra.

Selain keberadaannya yang seolah "ada tapi tiada", kontroversi ini juga berkaitan dengan letak sesungguhnya dari benua yang ditenggelamkan ini. Plato sendiri dalam karyanya Timeaus and Critias (ditulis pada 360 SM) menjelaskan bahwa pulau Atlantis terhampar di seberang pilar-pilar Hercules (yang selama ini dianggap sebagai semenanjung Gibraltar karena menghadap langsung ke samudra Atlantik). Pulau makmur ini tenggelam ke laut hanya dalam waktu satu malam akibat hukuman para dewa yang murka kepada penduduk Atlantis.

Entah Atlantis versi Plato ini hanya melambangkan suatu konsep Philosopher King dalam Republic-nya, ataukah dulu Atlantis ini memang benar-benar ada, yang jelas pencarian terhadap lokasi Atlantis tidak pernah berhenti.Beragam dugaan tentang letak tepat dari benua Atlantis pun bermunculan. Berbagai klaim dan perkiraan diajukan, di antaranya di Samudra Atlantik, di laut Mediterania, di pulau Siprus, hingga di laut Karibia di benua Amerika. Masalahnya, pada masa Plato (dan juga pada masa Herodotud dan Aristoteles), Atlantik digunakan untuk merujuk pada seluruh samudra atau lautan di seluruh dunia.

Bahkan, Plato merujuk kata "Atlantik" ini kepada Samudra Hindia sekarang. Seolah semua kontroversi itu belum cukup, pada tahun 2005 seorang profesor geologi dari Brazil yang bernama Prof. Dr. Aryo Santos meluncurkan bukunya Atlantis, the Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization (buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Ufuk) yang tidak kalah menghebohkan dunia. Santos, melanjurkan hipotesis Oppenheimer, mengajukan klaim bahwa Atlantis itu terletak di Nusantara, tepatnya di paparan Sunda atau laut dangkal antara pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan India.

Alkisah, sekitar 10.000 tahun SM, ketika Bumi mengalami zaman es yang terakhir, diperkirakan memang ada sebuah peradaban besar yang maju. Karena saat itu kawasan Amerika Utara, Asia, Timur Tengah, Eropa dan sebelah Selatan Afrika masih tertutup oleh tudung es yang luas, maka satu-satunya daratan yang memungkinkan munculnya peradaban adalah di wilayah tropis yang suhu udaranya hangat di samping datarannya yang luas. Dugaan inilah yang digunakan Santos untuk mengajukan klaim bahwa Atlantis dulunya berada di kawasan Sundaland, sebuah dataran luas yang menyatukan India, Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Kondisi geografis Indonesia yang bergunung-gunung serta keadaan alamnya yang subur juga semakin menguatkan klaim Santos. Ledakan Megavolcano Toba, Krakatao, Tambora dan gunung-gunung lain di Nusantara Purba inilah yang kemudian menyebabkan tenggelamnya Atlantis. Buku Peradaban Atlantis Nusantara karya Ahmad Y. Samantho dan Oman Abdurahman et. All ini ibarat bunga rampai yang sangat komprehensif untuk menguak misteri keberadaan benua Atlantis, terutama kaitannya dengan klaim bahwa Atlantis dulunya memang berada di Nusantara Purba.

Bagi Anda yang merasa buku Oppenheimer dan Santos—yang harganya di atas ratusan ribu—terlalu mahal, maka buku ini bisa menjadi semacam penghalang dahaga keingintahuan yang sangat memuaskan. Di dalamnya, kita bisa membaca rangkuman atau mungkin malah pemaparan secara lebih komprehensif mengenai karya Oppenheimer Eden in the East dan karya Santos Atlantis, Lost Continent finally Found.

Lebih keren lagi, di buku ini juga ditampilkan sejumlah tulisan yang lebih lokal, yakni terkait dengan dugaan-dugaan dan/atau temuan-temuan sejumlah pakar Indonesia dari beragam ranah keilmuwan yang intinya hendak mendukung klaim bahwa Atlantis itu berada di Nusantara atau Sundaland. Misalnya saja, adanya kemiripan bentuk candi Sukuh yang menyerupai piramida bangsa Aztec, juga sebuah bukit di Jawa Barat yang diperkirakan adalah sebuah piramida yang tertimbun tanah karena bentuknya yang sangat simetris.

Bagian paling menarik dari buku ini bisa ditemukan pada bab 1, 2, 3, 4, 5, 6, 10, dan 13. Dengan tidak memungkiri pentingnya bab-bab yang lain; membaca bab-bab favorit di atas bisa diibaratkan seperti memutar film tentang Atlantis, mulai dari kemunculannya dalam karya Plato, hingga klaim bahwa Atlantis itu memang berada di Sundaland.

Dalam bab-bab ini, pembaca akan menemukan jawaban dari mengapa peradaban yang besar itu bisa musnah tanpa meninggalakn jejak, sedahsyat apa bencana yang terjadi kala itu, apa keterkaitan antara tenggelamnya Atlantis dengan penyebaran atau diaspora penduduk dunia, benarkan nenek moyang bangsa-bangsa India dan Mesopotamia itu berasal dari Nusantara, bagaimana kisah terbentuknya selat Sunda terkait dengan tenggelamnya Atlantis, apakah pilar-pilar Herkules yang dimaksud Plato itu adalah gunung-gunung di Sumatra dan Jawa, dan masih banyak lagi tema-tema menarik seputar Atlantis yang luar biasa menarik untuk dibaca.

Karena formatnya yang berupa bunga rampai, mungkin sejumlah pembaca agak kecewa karena buku setebal 540 halaman ini tidak melulu membahas Atlantis. Beberapa bab di bagian belakang, bahkan membahas ranah filsafat ala Yunani yang mungkin sengaja dimasukkan dalam buku ini karena keterkaitan erat antara Atlantis, Plato, dan Yunani. Selain itu, masih dijumpai typo serta kekurangsempurnaan editan di halaman 70–90. Namun, secara garis besar, buku ini sangat memuaskan dahaga intelektual para pembaca yang mengidam-idamkan tema-tema Atlantis yang dibahas secara komprehensif dan ilmiah. Dan, para penyusun yang turut menyumbangkan tulisannya dalam buku ini pun sudah terbukti keandalannya dalam ranah masing-masing. Inilah yang membuat buku ini begitu bermutu dan berbobot. Sungguh sebuah karya yang mengajak kita untuk meneguhkan diri kita kembali sebagai bangsa yang besar. Dengan membaca buku ini, sejarah Nusantara mungkin harus sedikit direvisi kembali. (IRIB Indonesia/PH)

Menit-menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia ( Kafil Yamin)

http://moeflich.files.wordpress.com/2011/01/kaf-copy2.jpg
Kafil Yamin, wartawan kantor berita The IPS Asia-Pacific, Bangkok, dikirim ke Timor Timur pada tanggal 28 Agustus 1999 untuk meliput ‘Jajak Pendapat Timor-Timur’ yang diselenggarakan UNAMET [United Nations Mission in East Timor], 30 Agustus 1999. Berikut kesaksiannya  yang penting untuk diketahui bangsa Indonesia dan dunia umumnya.



Tulisan berikut ini sungguh luar biasa, namun sekaligus membuat dada sesak. Tentang sebuah perampokan dan penipuan yang dilakukan oleh IMF, PBB, dan negara-negara kapitalis. Tentang sebuah kebodohan besar yang dilakukan para pejabat Indonesia. Poor Timor Timur, poor Indonesia…

Menit-Menit yang Luput dari Catatan Sejarah Indonesia 
 oleh : Kafil Yamin

Jajak pendapat itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah referendum, adalah buah dari berbagai tekanan internasioal kepada Indonesia yang sudah timbul sejak keruntuhan Uni Soviet tahun 1991. Belakangan tekanan itu makin menguat dan menyusahkan Indonesia. Ketika krisis moneter menghantam negara-negara Asia Tenggara selama tahun 1997-1999, Indonesia terkena. Guncangan ekonomi sedemikian hebat; berimbas pada stabilitas politik; dan terjadilah jajak pendapat itu. 


Kebangkrutan ekonomi Indonesia dimanfaatkan oleh pihak Barat, melalui IMF dan Bank Dunia, untuk menekan Indonesia supaya melepas Timor Timur. IMF dan Bank Dunia bersedia membantu Indonesia lewat paket yang disebut bailout, sebesar US$43 milyar, asal Indonesia melepas Timtim.
Apa artinya ini? Artinya keputusan sudah dibuat sebelum jajak pendapat itu dilaksanakan. Artinya bahwa jajak pendapat itu sekedar formalitas.

Namun meski itu formalitas, toh keadaan di kota Dili sejak menjelang pelaksanan jajak pendapat itu sudah ramai nian. Panita jajak pendapat didominasi bule Australia dan Portugis. Wartawan asing berdatangan. Para pegiat LSM pemantau jajak pendapat, lokal dan asing, menyemarakkan pula – untuk sebuah sandiwara besar. Hebat bukan?

Sekitar Jam 1 siang, tanggal 28 Agustus 1999, saya mendarat di Dili. Matahari mengangkang di tengah langit. Begitu menyimpan barang-barang di penginapan [kalau tidak salah, nama penginapannya Dahlia, milik orang Makassar], saya keliling kota Dili. Siapapun yang berada di sana ketika itu, akan berkesimpulan sama dengan saya: kota Dili didominasi kaum pro-integrasi. Mencari orang Timtim yang pro-kemerdekaan untuk saya wawancarai, tak semudah mencari orang yang pro-integrasi.

Penasaran, saya pun keluyuran keluar kota Dili, sampai ke Ainaro dan Liquica, sekitar 60 km dari Dili. Kesannya sama: lebih banyak orang-orang pro-integrasi. Di  banyak tempat, banyak para pemuda-pemudi Timtim mengenakan kaos bertuliskan Mahidi [Mati-Hidup Demi Integrasi], Gadapaksi [Garda Muda Penegak Integrasi], BMP [Besi Merah Putih], Aitarak [Duri].

Setelah seharian berkeliling, saya berkesimpulan Timor Timur akan tetap bersama Indonesia. Bukan hanya dalam potensi suara, tapi dalam hal budaya, ekonomi, sosial, tidak mudah membayangkan Timor Timur bisa benar-benar terpisah dari Indonesia. Semua orang Timtim kebanyakan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Para penyedia barang-barang kebutuhan di pasar-pasar adalah orang Indonesia. Banyak pemuda-pemudi Timtim yang belajar di sekolah dan universitas Indonesia, hampir semuanya dibiayai pemerintah Indonesia. Guru-guru di sekolah-sekolah Timtim pun kebanyakan orang Indonesia, demikian juga para petugas kesehatan, dokter, mantri.

Selepas magrib, 28 Agustus 1999, setelah mandi dan makan, saya duduk di lobi penginapan, minum kopi dan merokok. Tak lama kemudian, seorang lelaki berusia 50an, tapi masih terlihat gagah, berambut gondrong, berbadan atletis, berjalan ke arah tempat  duduk saya; duduk  dekat saya dan mengeluarkan rokok . Rupanya ia pun hendak menikmati rokok dan kopi.

Dia menyapa duluan: “Dari mana?” sapanya.

“Dari Jakarta,” jawabku, sekalian menjelaskan bahwa saya wartawan, hendak meliput jajak pendapat.
Entah kenapa, masing-masing kami cepat larut dalam obrolan. Dia tak ragu mengungkapkan dirinya. Dia adalah mantan panglima pasukan pro-integrasi, yang tak pernah surut semangatnya memerangi Fretilin [organisasi pro-kemerdekaan], “karena bersama Portugis, mereka membantai keluarga saya,” katanya. Suaranya dalam, dengan tekanan emosi yg terkendali. Terkesan kuat dia lelaki matang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Tebaran uban di rambut gondrongnya menguatkan kesan kematangan itu.

“Panggil saja saya Laffae,” katanya.

“Itu nama Timor atau Portugis?” Saya penasaran.

“Timor. Itu julukan dari kawan maupun lawan. Artinya ‘buaya’,” jelasnya lagi.

Julukan itu muncul karena sebagai komandan milisi, dia dan pasukannya sering tak terdeteksi lawan. Setelah lawan merasa aman, tiba-tiba dia bisa muncul di tengah pasukan lawannya dan melahap semua yang ada di situ. Nah, menurut anak buah maupun musuhnya, keahlian seperti itu dimiliki buaya.
Dia pun bercerita bahwa dia lebih banyak hidup di hutan, tapi telah mendidik, melatih banyak orang dalam berpolitik dan berorganisasi. “Banyak binaan saya yang sudah jadi pejabat,” katanya. Dia pun menyebut sejumlah nama tokoh dan pejabat militer Indonesia yang sering berhubungan dengannya.
Rupanya dia seorang tokoh. Memang, dilihat dari tongkrongannya, tampak sekali dia seorang petempur senior. Saya teringat tokoh pejuang Kuba, Che Guevara. Hanya saja ukuran badannya lebih kecil.

“Kalau dengan Eurico Guterres? Sering berhubungan?” saya penasaran.

“Dia keponakan saya,” jawab Laffae. “Kalau ketemu, salam saja dari saya.”

Cukup lama kami mengobrol. Dia menguasai betul sejarah dan politik Timtim dan saya sangat menikmatinya. Obrolan usai karena kantuk kian menyerang.
Orang ini menancapkan kesan kuat dalam diri saya. Sebagai wartawan, saya telah bertemu, berbicara dengan banyak orang, dari pedagang kaki lima sampai menteri, dari germo sampai kyai, kebanyakan sudah lupa. Tapi orang ini, sampai sekarang, saya masih ingat jelas.
Sambil berjalan menuju kamar, pikiran bertanya-tanya: kalau dia seorang tokoh, kenapa saya tak pernah mendengar namanya dan melihatnya? Seperti saya mengenal Eurico Gueterres, Taur Matan Ruak? Xanana Gusmao? Dan lain-lain? Tapi sudahlah.

(2)
Pagi tanggal 29 Agustus 1999. Saya keluar penginapan hendak memantau situasi. Hari itu saya harus kirim laporan ke Bangkok. Namun sebelum keliling saya mencari rumah makan untuk sarapan. Kebetulan lewat satu rumah makan yang cukup nyaman. Segera saya masuk dan duduk. Eh, di meja sana saya melihat Laffae sedang dikelilingi 4-5 orang, semuanya berseragam Pemda setempat. Saya tambah yakin dia memang orang penting – tapi misterius.

Setelah bubar, saya tanya Laffae siapa orang-orang itu. “Yang satu Bupati Los Palos, yang satu Bupati Ainaro, yang dua lagi pejabat kejaksaan,” katanya. “Mereka minta nasihat saya soal keadaan sekarang ini,” tambahnya.
Kalau kita ketemu Laffae di jalan, kita akan melihatnya ‘bukan siapa-siapa’. Pakaiannya sangat sederhana. Rambutnya terurai tak terurus. Dan kalau kita belum ‘masuk’, dia nampak pendiam.

Saya lanjut keliling. Kota Dili makin semarak oleh kesibukan orang-orang asing. Terlihat polisi dan tentara UNAMET berjaga-jaga di setiap sudut kota. Saya pun mulai sibuk, sedikitnya ada tiga konferensi pers di tempat yang berbeda. Belum lagi kejadian-kejadian tertentu. Seorang teman wartawan dari majalah Tempo, Prabandari, selalu memberi tahu saya peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Dari berbagai peristiwa itu, yang menonjol adalah laporan dan kejadian tentang kecurangan panitia penyelenggara, yaitu UNAMET. Yang paling banyak dikeluhkan adalah bahwa UNAMET hanya merekrut orang-orang pro-kemerdekaan di kepanitiaan. Klaim ini terbukti. Saya mengunjungi hampir semua TPS terdekat, tidak ada orang pro-integrasi yang dilibatkan.

Yang bikin suasana panas di kota yang sudah panas itu adalah sikap polisi-polisi UNAMET yang tidak mengizinkan pemantau dan pengawas dari kaum pro-integrasi, bahkan untuk sekedar mendekat. Paling dekat dari jarak 200 meter. Tapi pemantau-pemantau bule bisa masuk ke sektratriat. Bahkan ikut mengetik!

Di sini saya perlu mengungkapkan ukuran mental orang-orang LSM dari Indonesia, yang kebanyakan mendukung kemerdekaan Timtim karena didanai asing. Mereka tak berani mendekat ke TPS dan sekretariat, baru ditunjuk polisi UNAMET saja langsung mundur. Tapi kepada pejabat-pejabat Indonesia mereka sangat galak: menuding, menuduh, menghujat. Berani melawan polisi . Di hadapan polisi bule mereka mendadak jadi inlander betulan.

Tambah kisruh adalah banyak orang-orang pro-integrasi tak terdaftar sebagai pemilih. Dari 4 konferensi pers, 3 di antaranya adalah tentang ungkapan soal ini. Bahkan anak-anak Mahidi mengangkut segerombolan orang tua yang ditolak mendaftar pemilih karena dikenal sebagai pendukung integrasi.

Saya pun harus mengungkapkan ukuran mental wartawan-wartawan Indonesia di sini. Siang menjelang sore, UNAMET menyelenggarakan konferensi pers di Dili tentang rencana penyelenggaraan jajak pendapat besok. Saya tentu hadir. Lebih banyak wartawan asing daripada wartawan Indonesia. Saya yakin wartawan-wartawan Indonesia tahu kecurangan-kecurangan itu.
Saat tanya jawab, tidak ada wartawan Indonesia mempertanyakan soal praktik tidak fair itu. Bahkan sekedar bertanya pun tidak. Hanya saya yang bertanya tentang itu. Jawabannya tidak jelas. Pertanyaan didominasi wartawan-wartawan bule.

Tapi saya ingat betapa galaknya wartawan-wartawan Indonesia kalau mewawancarai pejabat Indonesia terkait dengan HAM atau praktik-praktik kecurangan. Hambatan bahasa tidak bisa jadi alasan karena cukup banyak wartawan Indonesia yang bisa bahasa Inggris. Saya kira sebab utamanya rendah diri, seperti sikap para aktifis LSM lokal tadi.

Setelah konferensi pers usai, sekitar 2 jam saya habiskan untuk menulis laporan. Isi utamanya tentang praktik-praktik kecurangan itu. Selain wawancara, saya juga melengkapinya dengan pemantauan langsung.

Kira-kira 2 jam setelah saya kirim, editor di Bangkok menelepon. Saya masih ingat persis dialognya:
“Kafil, we can’t run the story,” katanya.
“What do you mean? You send me here. I do the job, and you don’t run the story?” saya berreaksi.
“We can’t say the UNAMET is cheating…” katanya.
“That’s what I saw. That’s the fact. You want me to lie?” saya agak emosi.
“Do they [pro-integrasi] say all this thing because they know they are going to loose?”
“Well, that’s your interpretation. I’ll make it simple. I wrote what I had to and it’s up to you,”
“I think  we still can run the story but we should change it.”
“ I leave it to you,” saya menutup pembicaraan.

Saya merasa tak nyaman. Namun saya kemudian bisa maklum karena teringat bahwa IPS Asia-Pacific itu antara lain didanai PBB.

(3)
Pagi 30 Agustus 1999. Saya keliling Dili ke tempat-tempat pemungutan suara. Di tiap TPS, para pemilih antri berjajar. Saya bisa berdiri dekat dengan antrean-antrean itu. Para ‘pemantau’ tak berani mendekat karena diusir polisi UNAMET.
Karena dekat, saya bisa melihat dan mendengar bule-bule Australia yang sepertinya sedang mengatur barisan padahal sedang kampanya kasar. Kebetulan mereka bisa bahasa Indonesia: “Ingat, pilih kemerdekaan ya!” teriak seorang cewek bule kepada sekelompok orang tua yang sedang antre. Bule-bule yang lain juga melakukan hal yang sama.
Sejenak saya heran dengan kelakuan mereka. Yang sering mengampanyekan kejujuran, hak menentukan nasib sendiri. Munafik, pikir saya. Mereka cukup tak tahu malu.
Setelah memantau 4-5 TPS saya segera mencari tempat untuk menulis. Saya harus kirim laporan. Setelah mengirim laporan. Saya manfaat waktu untuk rileks, mencari tempat yang nyaman, melonggarkan otot. Toh kerja hari itu sudah selesai.

Sampailah saya di pantai agak ke Timur, di mana patung Bunda Maria berdiri menghadap laut, seperti sedang mendaulat ombak samudra. Patung itu bediri di puncak bukit. Sangat besar. Dikelilingi taman dan bangunan indah. Untuk mencapai patung itu, anda akan melewati trap tembok yang cukup landai dan lebar. Sangat nyaman untuk jalan berombongan sekali pun. Sepanjang trap didindingi bukit yang dilapisi batu pualam. Di setiap kira jarak 10 meter, di dinding terpajang relief dari tembaga tentang Yesus, Bunda Maria, murid-murid Yesus, dengan ukiran yang sangat bermutu tinggi.  Indah. Sangat indah.

Patung dan semua fasilitasnya ini dibangun pemerintah Indonesia. Pasti dengan biaya sangat mahal. 

Ya, itulah biaya politik.

Tak terasa hari mulai redup. Saya harus pulang.

Selepas magrib, 30 September 1999. Kembali ke penginapan, saya bertemu lagi dengan Laffae. Kali ini dia mendahului saya. Dia sudah duluan mengepulkan baris demi baris asap rokok dari hidung dan mulutnya. Kami ngobrol lagi sambil menikmati kopi.

Tapi kali ini saya tidak leluasa. Karena banyak tamu yang menemui Laffae, kebanyakan pentolan-pentolan milisi pro-integrasi.  Ditambah penginapan kian sesak. Beberapa pemantau nginap di situ. Ada juga polisi UNAMET perwakilan dari Pakistan.

Ada seorang perempuan keluar kamar, melihat dengan pandangan ‘meminta’ ke arah saya dan Laffae. Kami tidak mengerti maksudnya. Baru tau setelah lelaki pendampingnya bilang dia tak kuat asap rokok. Laffae lantas bilang ke orang itu kenapa dia jadi pemantau kalau tak kuat asap rokok. Kami berdua terus melanjutkan kewajiban dengan racun itu. Beberapa menit kemudian cewek itu pingsan dan dibawa ke klinik terdekat.

Saya masuk kamar lebih cepat. Tidur.

Pagi, 4 September 1999. Pengumuman hasil jajak pendapat di hotel Turismo Dili. Bagi saya, hasilnya sangat mengagetkan: 344.508 suara untuk kemerdekaan, 94.388 untuk integrasi, atau 78,5persen berbanding 21,5persen.

Ketua panitia mengumumkan hasil ini dengan penuh senyum, seakan baru dapat rezeki nomplok. Tak banyak tanya jawab setelah itu. Saya pun segera berlari mencari tempat untuk menulis laporan. Setelah selesai, saya balik ke penginapan.

Di lobi, Laffae sedang menonton teve yang menyiarkan hasil jajak pendapat. Sendirian. Saat saya mendekat, wajahnya berurai air mata. “Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Mereka curang..” katanya tersedu. Dia merangkul saya. Lelaki pejuang, segar, matang ini mendadak luluh. Saya tak punya kata apapun untuk menghiburnya. Lagi pula, mata saya saya malah berkaca-kaca, terharu membayangkan apa yang dirasakan lelaki ini. Perjuangan keras sepanjang hidupnya berakhir dengan kekalahan.
Saya hanya bisa diam. Dan Laffae pun nampaknya tak mau kesedihannya terlihat orang lain. Setelah beberapa jenak ia berhasil bersikap normal.

“Kota Dili ini akan kosong..” katanya. Pelan tapi dalam. “Setelah kosong, UNAMET mau apa.”
Telepon berbunyi, dari Prabandari Tempo. Dia memberi tahu semua wartawan Indonesia segera dievakuasi pakai pesawat militer Hercules, karena akan ada penyisiran terhadap semua wartawan Indonesia. Saya diminta segera ke bandara saat itu juga. Kalau tidak, militer tidak bertanggung jawab. Semua wartawan Indonesia sudah berkumpul di bandara, tinggal saya. Hanya butuh lima menit bagi saya untuk memutuskan tidak ikut. Saya bilang ke Prabandari:  “Saya bertahan. Tinggalkan saja saya.”

Laffae menguping pembicaraan. Dia menimpali: “Kenapa wartawan kesini kalau ada kejadian malah lari?” katanya. Saya kira lebih benar dia mikirnya.

Saya lantas keluar, melakukan berbagai wawancara, menghadiri konferensi pers, kebanyakan tentang kemarahan atas kecurangan UNAMET. “Anggota Mahidi saja ada 50 ribu; belum Gardapaksi, belum BMP, belum Halilintar, belum masyarakat yang tak ikut organisasi,” kata Nemecio Lopez, komandan milisi Mahidi.

Kembali ke penginapan sore, Laffae sedang menghadapi tamu 4-5 orang pentolan pro-integrasi. Dia menengok ke arah saya: “Kafil! Mari sini,” mengajak saya bergabung.
“Sebentar!” saya bersemangat. Saya tak boleh lewatkan ini. Setelah menyimpan barang-barang di kamar, mandi kilat. Saya bergabung. Di situ saya hanya mendengarkan. Ya, hanya mendengarkan.
“Paling-paling kita bisa siapkan seribuan orang,” kata ketua Armindo Soares, saya bertemu dengannya berkali-kali selama peliputan.

“Saya perlu lima ribu,” kata Laffae.

“Ya, lima ribu baru cukup untuk mengguncangkan kota Dili,” katanya, sambil menengok ke arah saya.

“Kita akan usahakan,” kata Armindo.

Saya belum bisa menangkap jelas pembicaraan mereka ketika seorang kawan memberitahu ada konferensi pers di kediaman Gubernur Abilio Soares. Saya segera siap-siap berangkat ke sana. Sekitar jam 7 malam, saya sampai di rumah Gubernur. Rupanya ada perjamuan. Cukup banyak tamu. Soares berbicara kepada wartawan tentang penolakannya terhadap hasil jajak pendapat karena berbagai kecurangan yang tidak bisa dimaklumi.

Setelah ikut makan enak, saya pulang ke penginapan sekitar jam 8:30 malam. Sudah rindu bersantai dengan Laffae sambil ditemani nikotin dan kafein. Tapi Laffae tidak ada. Anehnya, penginapan jadi agak sepi. Para pemantau sudah check-out, juga polisi-polisi UNAMET dari Pakistan itu. Tak banyak yang bisa dilakukan kecuali tidur.

Namun saat rebah, kantuk susah datang karena terdengar suara-suara tembakan. Mula-mula terdengar jauh. Tapi makin lama makin terdengar lebih dekat dan frekuensi tembakannya lebih sering. Mungkin karena perut kenyang dan badan capek, saya tertidur juga.
(4)
Tanggal 5 September pagi, sekitar jam 09:00, saya keluar penginapan. Kota Dili jauh lebi lengang. Hanya terlihat kendaran-kendaraan UNAMET melintas di jalan. Tak ada lagi kendaraan umum. Tapi saya harus keluar. Apa boleh buat – jalan kaki. Makin jauh berjalan makin sepi, tapi tembakan nyaris terdengar dari segala arah. Sesiang ini, Dili sudah mencekam.

Tidak ada warung atau toko buka. Perut sudah menagih keras. Apa boleh buat saya berjalan menuju hotel Turismo, hanya di hotel besar ada makanan. Tapi segera setelah itu saya kembali ke penginapan. Tidak banyak yang bisa dikerjakan hari itu.

Selepas magrib 5 Setember 1999. Saya sendirian di penginapan. Lapar. Tidak ada makanan. Dili sudah seratus persen mencekam. Bunyi tembakan tak henti-henti. Terdorong rasa lapar yang sangat, saya keluar penginapan.
Selain mencekam. Gelap pula. Hanya di tempat-tempat tertentu lampu menyala. Baru kira-kira 20 meter berjalan, gelegar tembakan dari arah kanan. Berhenti. Jalan lagi. Tembakan lagi dari arah kiri. Tiap berhenti ada tarikan dua arah dari dalam diri: kembali atau terus. Entah kenapa, saya selalu memilih terus, karena untuk balik sudah terlanjur jauh. Saya berjalan sendirian; dalam gelap; ditaburi bunyi tembakan. Hati dipenuhi adonan tiga unsur: lapar, takut, dan perjuangan menundukkan rasa takut. Lagi pula, saya tak tau ke arah mana saya berjalan. Kepalang basah, pokoknya jalan terus.

Sekitar jam 11 malam, tanpa disengaja, kaki sampai di pelabuhan Dili. Lumayan terang oleh lampu pelabuhan. Segera rasa takut hilang karena di sana banyak sekali orang. Mereka duduk, bergeletak di atas aspal atau tanah pelabuhan. Rupanya, mereka hendak mengungsi via kapal laut.

Banyak di antara mereka yang sedang makan nasi bungkus bersama. Dalam suasa begini, malu dan segan saya buang ke tengah laut. Saya minta makan! “Ikut makan ya?” kata saya kepada serombongan keluarga yang sedang makan bersama. “Silahkan bang!.. silahkan!..” si bapak tampak senang. Tunggu apa lagi, segera saya ambil nasinya, sambar ikannya. Cepat sekali saya makan. Kenyang sudah, sehingga ada tenaga untuk kurang ajar lebih jauh: sekalian minta rokok ke bapak itu. Dikasih juga.

Sekitar jam 3 malam saya berhasil kembali ke penginapan.
Pagi menjelang siang, tanggal 6 September 1999. Saya hanya duduk di lobi penginapan karena tidak ada kendaraan. Tidak ada warung dan toko yang buka. Yang ada hanya tembakan tak henti-henti. Dili tak berpenghuni – kecuali para petugas UNAMET. Nyaris semua penduduk Dili mengungsi, sebagian via kapal, sebagian via darat ke Atambua.

Orang-orang pro-kemerdekaan berlarian diserang kaum pro-integrasi. Markas dan sekretariat dibakar. Darah tumpah lagi entah untuk keberapa kalinya.
Sekarang, saya jadi teringat kata-kata Laffae sehabis menyaksikan pengumuman hasil jajak pedapat kemarin: “Dili ini akan kosong..”

Saya pun teringat kata-kata dia: “Saya perlu lima ribu orang untuk mengguncang kota Dili..” Ya, sekarang saya berkesimpulan ini aksi dia. Aksi pejuang pro-integrasi yang merasa kehilangan masa depan. Ya, hanya saya yang tahu siapa tokoh utama aksi bumi hangus ini, sementara teve-teve hanya memberitakan penyerangan mililis pro-integrasi terhadap kaum pro-kemerdekaan.

Tentu, orang-orang pro-integrasi pun mengungsi. Laffae dan pasukannya ingin semua orang Timtim bernasib sama: kalau ada satu pihak yang tak mendapat tempat di bumi Loro Sae, maka semua orang timtim harus keluar dari sana. Itu pernah diucapkannya kepada saya.
Inilah hasil langsung jajak pendapat yang dipaksakan harus dimenangkan. Hukum perhubungan antar manusia saat itu sepasti hukum kimia: tindakan lancung dan curang pasti berbuah bencana.
***
Saya harus pulang, karena tidak banyak yang bisa dilihat dan ditemui. Untung masih ada omprengan yang mau mengantara ke bandara. Sekitar jam 11 pagi saya sampai di pelabuhan udara Komoro. Keadaan di bandara sedang darurat. Semua orang panik. Semua orang ingin mendapat tiket dan tempat duduk pada jam penerbangan yang sama. Karena hura-hara sudah mendekati bandara. Lagi pula penerbangan jam itu adalah yang satu-satunya dan terakhir.

Bule-bule yang biasanya tertib kini saling sikut, saling dorong sampai ke depan komputer penjaga kounter. Ada bule yang stres saking tegangnya sampai-sampai minta rokok kepada saya yg berdiri di belakang tenang-tenang saja. Beginilah nikmatnya jadi orang beriman.

Banyak yang tidak kebagian tiket. Entah kenapa saya lancar-lancar saja. Masuk ke ruangan tunggu, di situ sudah ada Eurico Gutteres. Saya hampiri dia, saya bilang saya banyak bicara dengan Laffae dan dia menyampaikan salam untuknya. Eurico memandang saya agak lama, pasti karena saya menyebut nama Laffae itu.

Sore, 7 November, 1999, saya mendarat di Jakarta.
(5)
Penduduk Timtim mengungsi ke Atambua, NTT. Sungguh tidak mudah mereka mengungsi. Polisi UNAMET berusaha mencegah setiap bentuk pengungsian ke luar Dili. Namun hanya sedikit yang bisa mereka tahan di Dili.

Di kamp-kamp pengungsian Atambua, keadaan sungguh memiriskan hati. Orang-orang tua duduk mecakung; anak-anak muda gelisah ditelikung rasa takut; sebagian digerayangi rasa marah dan dendam; anak-anak diliputi kecemasan. Mereka adalah yang memilih hidup bersama Indonesia. Dan pilihan itu mengharuskan mereka terpisah dari keluarga.

Pemerintah negara yang mereka pilih sebagai tumpuan hidup, jauh dari menyantuni mereka. Kaum milisi pro-integrasi dikejar-kejar tuntutan hukum atas ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’, dan Indonesia, boro-boro membela mereka, malah ikut mengejar-ngejar orang Timtim yang memilih merah putih itu. Eurico Guterres dan Abilio Soares diadili dan dihukum di negara yang dicintai dan dibelanya.
Jendral-jendral yang dulu menikmati kekuasaan di Timtim, sekarang pada sembunyi. Tak ada yang punya cukup nyali untuk bersikap tegas, misalnya: “Kami melindungi rakyat Timtim yang memilih bergabung dengan Indonesia.” Padahal, mereka yang selalu mengajarkan berkorban untuk negara; menjadi tumbal untuk kehormatan pertiwi, dengan nyawa sekalipun.
Sementara itu, para pengungsi ditelantarkan. Tak ada solidaritas kebangsaan yang ditunjukkan pemerintah dan militer Indonesia.
Inilah tragedi kemanusiaan. Melihat begini, jargon-jargon negara-negara Barat, media asing, tentang ‘self determination’, tak lebih dari sekedar ironi pahit. Sikap negara-negara Barat dan para aktifis kemanusiaan internasional yang merasa memperjuangkan rakyat Timtim jadi terlihat absurd. Sebab waktu telah membuktikan bahwa yang mereka perjuangkan tak lebih tak kurang adalah sumberdaya alam Timtim, terutama minyak bumi, yang kini mereka hisap habis-habisan.

Pernah Laffae menelepon saya dari Jakarta, kira-kira 3 bulan setelah malapetaka itu. Ketika itu saya tinggal di Bandung. Dia bilang ingin ketemu saya dan akan datang ke Bandung. Saya sangat senang. Tapi dia tak pernah datang..saya tidak tahu sebabnya. Mudah-mudahan dia baik-baik saja.
(6-akhir)

12 tahun beralu sudah. Apa kabar bailout IMF yang 43 milyar dolar itu? Sampai detik ini, uang itu entah di mana. Ada beberapa percik dicairkan tahun 1999-2000, tak sampai seperempatnya. Dan tidak menolong apa-apa. Yang terbukti bukan mencairkan dana yang dijanjikan, tapi meminta pemerintah Indonesia supaya mencabut subsidi BBM, subsidi pangan, subsidi listrik, yang membuat rakyat Indonesia tambah miskin dan sengsara. Anehnya, semua sarannya itu diturut oleh pemerintah rendah diri bin inlander ini.

Yang paling dibutuhkan adalah menutupi defisit anggaran. Untuk itulah dana pinjaman [bukan bantuan] diperlukan. Namun IMF mengatasi defisit angaran dengan akal bulus: mencabut semua subsidi untuk kebutuhan rakyat sehingga defisit tertutupi, sehingga duit dia tetap utuh. Perkara rakyat ngamuk dan makin sengsara, peduli amat.

Melengkapi akal bulusnya itu IMF meminta pemerintah Indonesia menswastakan semua perusahaan negara, seperti Bank Niaga, BCA, Telkom, Indosat.
Pernah IMF mengeluarkan dana cadangan sebesar 9 milyar dolar. Tapi, seperti dikeluhkan Menteri Ekonomi Kwik Kian Gie ketika itu, seperak pun dana itu tidak bisa dipakai karena hanya berfungsi sebagai pengaman. Apa bedanya dengan dana fiktif?

Lagi pula, kenapa ketika itu pemerintah Indonesia seperti tak punya cadangan otak, yang paling sederhana sekalipun. Kenapa mau melepas Timtim dengan imbalan utang? Bukankan semestinya kompensasi? Adakah di dunia ini orang yang hartanya di beli dengan utang? Nih saya bayar barangmu. Barangmu saya ambil, tapi kau harus tetap mengembalikan uang itu. Bukankah ini sama persis dengan memberi gratis? Dan dalam kasus ini, yang dikasih adalah negara? Ya , Indonesia memberi negara kepada IMF secara cuma-cuma.

Kalau saya jadi wakil pemerintah Indonesia waktu itu, saya akan menawarkan ‘deal’ yang paling masuk akal: “Baik, Timor Timur kami lepas tanpa syarat. Ganti saja dana yang sudah kami keluarkan untuk membangun Timtim selama 24 tahun.” Dengan demikian, tidak ada utang piutang.
Sampai hari ini Indonesia masih menyicil utang kepada IMF, untuk sesuatu yang tak pernah ia dapatkan. Saya harap generasi muda Indonesia tidak sebodoh para pemimpin sekarang. (27 Januari 2011).

http://moeflich.wordpress.com/2011/01/27/menit-menit-yang-luput-dari-catatan-sejarah-indonesia/#comment-21183