Bahasa adalah kapasitas
khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi
yang kompleks, dan sebuah bahasa adalah contoh spesifik dari sistem
tersebut. Kajian ilmiah terhadap bahasa disebut dengan linguistik.
Hal yang tidak mungkin untuk mengetahui secara tepat berapa banyak bahasa yang
ada di dunia, dan jumlahnya bergantung kepada suatu perubahan sembarang antara
perbedaan bahasa dan dialek
Bahasa manusia adalah unik di
antara makhluk hidup di bumi karena strukturnya yang kompleks mampu memberikan
kemungkinan ekspresi dan penggunan yang lebih luas daripada sistem komunikasi
hewan yang diketahui, yang semuanya secara umum adalah sistem
tertutup, dengan fungsi-fungsi yang terbatas dan kebanyakan diturunkan secara
genetis daripada berpindah secara sosial. Berlawanan dengan bentuk komunikasi
selain-manusia, bahasa manusia memiliki properti-properti produktivitas,
rekursif, dan pergeseran.
Bahasa manusia juga satu-satunya sistem yang banyak bergantung pada konvensi
sosial dan pembelajaran. Bahasa dikatakan berasal sejak hominin pertama kali mulai
bekerja sama, secara bertahap merubah sistem komunikasi primata mereka
bersamaan dengan memperoleh kemampuan untuk membentuk suatu teori dari
pikiran dan berbagi secara sengaja.
Bahasa
Indonesia Belum Menjadi Primadona di Negeri Sendiri
Bahasa adalah pengantar bagi seorang penutur. Bahasa
adalah lambang dimana kita dapat berkomunikasi dengan siapapun . Bahasa menjadi
jalan untuk mempertemukan pikiran, jalan keluar dan kebiasaan seseorang. Bahkan
bahasa bisa mencerminkan jati diri seseorang. Bahasa yang baik adalah bahasa
yang mengandung makna baik bagi si penutur maupun bagi si pendengar.
Masih banyak yang harus di perbaiki dalam berbahasa,
terutama untuk kalangan para remaja. Remaja yang notabene adalah penerus bangsa
yang masih dalam masa transisi harus menentukan jalan yang lebih baik untuk
masa yang akan datang. Bahasa Indonesia yang kita kenal adalah bahasa
pemersatu, bahasa yang dikenal ramah bagi para penggunanya. Namun
belakangan banyak kita dengar begitu banyak pelesatan yang dipakai dalam bahasa
Indonesia. Terutama untuk mengungkapkan hal-hal kecil, banyak orang menggunakan
istilah - istilah yang kita impor dari negara lain. Contoh nya saja untuk
mengucapkan kata “terima kasih” kita lebih cenderung mengucapkan
“thanks”, kata maaf menjadi “sorry”. Ya hal itu semata-mata dipakai agar
sipenutur dianggap orang hebat atau apalah.
Belum lagi, permasalahan yang sangat pelik adalah bagi
si pencari kerja. Hampir semua persyaratan yang tertulis di lowongan kerja
menggunakan bahasa Inggris. Aneh memang, di negeri sendiri kita dituntut harus
menguasai bahasa asing dan bahasa kita seakan-akan terasing atau diasingkan.
Entah apa maksud dan tujuan diberlakukan nya persyaratan demikian. Apa karena
banyak investor nya orang asing? Sah-sah saja kalau si pelamar diminta
tahu berbahasa Inggris, tapi bukan berarti itu dijadikan momok yang
berkepanjangan. Saya tidak malu mengungkapkan kebenaran yang terjadi di
lapangan, saat seorang pengangguran terdidik ataupun tidak dituntut untuk
mengetahui bahasa Inggris.
Ada banyak hal yang telah menjadikan bangsa ini tidak
lagi mengerti makna bahasa Indonesia yang sesungguhnya. Bahkan sekarang ini
anak-anak yang masih berumur 3 tahun sudah ikut kursus bahasa asing. Ada apa
dengan bahasa Indonesia? Apakah layak seorang anak yang masih berumur 3 tahun
menekuni sebuah bahasa yang jelas-jelas bukan bahasa Ibu mereka yang sering mereka
dengarkan setiap hari. Saya cuma minta para orang tua dibuka pikirannya tentang
ini. Biarkan anak-anak berkembang dengan bahasa Indonesia. Jangan paksakan
bahasa asing merajai bahasa Indonesia. Kadangkala, dengan bangganya seorang ibu
mengatakan anak saya sudah bisa berbahasa Inggris meski baru berumur 3 tahun.
Padahal Bahasa Indonesia sendiri masih harus dipelajari di usia dini seperti
itu.
Dilain kasus, ada seorang guru Bahasa Indonesia yang
ingin melamar di sebuah sekolah swasta, dimana sekolah tersebut menuntut agar
setiap guru menguasai Bahasa Inggris. Lucu nya, bahasa Inggris dipakai sebagai
bahasa pengantar pada jam pelajaran bahasa Indonesia. Wah, betapa
herannya bangsa ini. Ada apa dengan pola pikir kita? Apa yang sudah meracuni
pikiran kita seakan akan bahasa indonesia tidak lagi menjadi bahasa pengantar
yang mempersatukan, melainkan bahasa penutur bagi bahasa yang hampir terasing.
Saya bangga menjadi salah satu bagian dari bangsa ini,
terutama bagian dari bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa yang harus dikenal,
dirasakan dan dipakai untuk dapat mengkomunikasikan pikiran kepada siapapun.
Meski demikian saya tidak hanya membuka realita yang benar-benar terjadi di lingkungan
saya sendiri, melainkan memberikan pandangan ke depan, agar kita tetap
mencintai Bahasa yang telah mempersatukan siapapun yang ada di dalamnya.
Mempersatukan saya yang berasal dari Aceh atau anda yang berasal dari
Minangkabau, atau anda seorang Melayu atau anda berasal dari Jawa, atau anda
seorang Sulawesi. Entah apa pun suku bangsa kita, jadikanlah bahasa Indonesia
menjadi primadona di negeri sendiri sebagai alat bertutur yang tepat.
Mempertahankan
Jati Diri di Negeri Sendiri
Berniat mengetahui tentang kedudukan bahasa Indonesia
di tanah air sendiri, sampailah penulis di sebuah situs milik Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tercantum di dalamnya mengenai Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia yang notabene
merupakan tes untuk mengukur kemampuan berbahasa Indonesia melaui tes tertulis
dan lisan yang sasarannya adalah karyawan instansi pemerintah maupun swasta.
Timbul pertanyaan apakah uji ini cukup efektif dan menarik untuk dilakukan
sementara bahasa Indonesia semakin termarginalkan di tengah kompetisi global
dan justru tidak dianggap lebih penting untuk ditonjolkan dibandingkan bahasa
asing.
Bahasa Indonesia, Bahasa Nasional, Karakter Bangsa
Bahasa merupakan ciri utama dari identitas manusia
serta simbol nasional dan identitas etnik yang kuat. Ketika mendengar seseorang
berbicara, kita dapat langsung menduga gender, level pendidikan, umur, profesi
dan asal orang tersebut (Spolsky, 1999). Sebagai bahasa nasional yang mempunyai
kedudukan sebagai lambang kebanggaan, lambang identitas, alat pemersatu dan
alat penghubung antardaerah, maka semakin bahasa Indonesia memasyarakat dan
mengakar dalam diri setiap warganya, semakin kuatlah jati diri mereka sebagai
bangsa Indonesia. Sayangnya, terkadang justru masyarakat Indonesia tidak merasa
bangga terhadap bahasa Indonesia. Kurang intensifnya pelatihan bahasa Indonesia
bagi warga negara asing yang belajar di Indonesia masih kerapkali kita temui di
berbagai daerah. Hal ini berkebalikan dengan Jepang, dimana negeri sakura
tersebut mewajibkan pelatihan bahasa Jepang bagi warga negara asing yang
belajar di negeri tersebut. Masyarakat Jepang merasa bangga dengan bahasa yang
mereka gunakan, dan justru dengan arogansi bahasa itulah, kita dapat melihat
cerminan jati diri dan karakter yang kuat dari bangsa tersebut.
Terlalu Banyak Persaingan
Selain sebagai bahasa nasional, peran bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara pun semakin termarginalkan. Bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara yang berkedudukan sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa
pengantar dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional, serta
alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi terasa belum
maksimal digunakan. Bahasa Indonesia seperti kurang menarik untuk dieksplorasi
oleh para penggunanya.
Kompetisi global membuat bahasa asing, contohnya
bahasa Inggris makin marak diminati, berkebalikan dengan minat terhadap bahasa
Indonesia. Menurut Alwasilah (2007), tujuan pembelajaran bahasa Inggris di
Indonesia adalah mempersiapkan pelaku dan pelibat komunikasi abad ke-21 sebagai
abad kesejagatan dan persaingan. Bahkan dikatakan pula penguasaan bahasa asing,
khususnya bahasa Inggris adalah strategi kebudayaan agar mereka dapat bersaing
dengan bangsa lain. Kedudukan Indonesia sebagai negara berkembang menyebabkan
perdagangan bebas mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola interaksi pelaku
pasar dan dengan keterbatasan pembatasan budaya asing yang masuk, perusahaan multinasional
berlomba-lomba untuk menerapkan standar kompetensi penguasaan bahasa asing.
Bahasa Indonesia dianggap tidak telalu penting untuk diperhatikan,
distandardisasi dan dipelajari lebih dalam. Padahal menurut Suhendra dan
Supinah (1997), seperti halnya tujuan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia yang
diadakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia yang telah dibahas
di atas, sebagai bahasa resmi kenegaraan, penguasaan bahasa Indonesia
perlu dijadikan faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan seperti
penerimaan karyawan baru dan kenaikan pangkat.
Sementara di dunia kerja bahasa Indonesia bersaing
dengan bahasa asing, lain halnya dengan lingkungan remaja yang telah dirambahi
oleh fenomena bahasa gaul dan variasinya. Alasan kreatifitas, keisengan dan
eksistensi suatu kelompok membuat bahasa gaul dan variasinya telah semakin
diminati, tidak hanya di Jakarta sebagai kiblat bahasa gaul, berkat
media sosial, bahasa gaul telah banyak digunakan di luar Jawa. Bahasa tidak
baku pun semakin sering digunakan. Bahasa tidak baku yang dipakai sehari-hari
bakan kerapkali dapat kita saksikan dalam wawancara dan gelar wicara yang
ditayangkan televisi nasional.
Peran Kita sebagai Warga Negara
Suhendar dan Supinah (1997) menyatakan bahwa
unsur-unsur bahasa yang tidak diperlukan disebabkan oleh kekaburan pembedaan
kedudukan. Kedudukan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional menjadi
semakin kabur jika bercampur aduk dengan bahasa Ibu dan bahasa asing.
Pendidikan bahasa Indonesia seorang anak dimulai dari lingkungan keluarga.
Selain bahasa ibu yang sering digunakan orangtua sebagai bahasa pengantar,
sebaiknya orang tua dapat memperkenalkan penggunaan bahasa indonesia yang baik
dan benar. Penanaman bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang digunakan
sebagai penghubung dapat dilakukan semenjak dini, sementara bahasa ibu tetap
dapat dilestarikan dan diajarkan berdasarkan kondisi lingkungan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa kebudayaan juga
semakin kabur dengan tenggelamnya karya-karya sastra, baik klasik maupun modern
di tengah gempuran globalisasi. Merujuk pada apa yang dilakukan pemerintah
kolonial yang membendung bahasa melayu pasar dengan mempromosikan bahasa melayu
tinggi dalam bentuk karya sastra melalui Balai Pustaka, hal yang sama dapat
dilakukan saat ini, baik oleh pemerintah maupun masyarakat umum. Karya sastra
modern dan klasik dapat dipromosikan di berbagai acara seperti pada bulan
bahasa. Bulan bahasa sendiri pada kenyataannya tidak banyak diketahui oleh
khalayak luas.
Dalam insitusi pendidikan, penghayatan anak dalam berbahasa
Indonesia antara lain disebabkan oleh kurangnya minat baca dan tulis.
Memperbanyak praktek mengarang dan membaca buku berbahasa Indonesia, misalnya
dalam memperkenalkan karya-karya sastrawan dari era ke era harapannya dapat
menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa sekaligus sastra Indonesia. Pembentukan
majalah sastra berskala nasional sebagai wadah ekspresi kecintaan dan
pelestarian bahasa dan budaya Indonesia, layaknya pembentukan majalah
Angkatan Pujangga Baru pada tahun 1933 pun dapat dilakukan dengan diinisiasi
oleh pemerintah atau para sastrawan dan budayawan Indonesia.
Bahasa Indonesia sebagai alat pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi sering berkiblat dan menyerap istilah asing, akan tetapi,
dalam berbagai makalah ilmiah, sering dijumpai penggunaan bahasa asing yang
tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, hal ini dikarenakan kurangnya
sosialisasi pembaruan istilah-istilah asing yang telah dilakukan pemerintah dan
dimasukkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kerjasama institusi pendidikan
dengan lembaga pemerintahan, dalam hal ini Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa dapat diupayakan, sehingga guru berbagai mata pelajaran dapat
memperbarui dan berbagi istilah baru untuk diperkenalkan terhadap murid-murid.
Pun sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan, guru perlu menerapkan bahasa
Indonesia secara baik dan benar sebagai bahasa penghubung ketika mengajar,
walaupun diawali dengan penggunaan kata-kata yang sederhana.
Adanya uji
kompetensi terstandar, dalam hal ini tes uji kemahiran berbahasa Indonesia,
dapat dilakukan per jenjang pendidikan, dari sekolah dasar hingga jenjang
sarjana. Uji ini dapat dilakukan bersinergi dengan ujian akhir nasional dan
disesuaikan dengan kurikulum pembelajaran. Hingga saat ini, berdasarkan data
pada situs Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia, uji Kemahiran
Berbahasa Indonesia kebanyakan hanya diikuti oleh guru-guru bahasa Indonesia,
dan tidak terhadap murid.
Pengenalan bahasa dan sastra Indonesia terhadap
generasi muda dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih menyenangkan,
seperti perlombaan atau kompetisi. Berkembang dari perlombaan menulis atau
membaca puisi, dapat pula diadakan perlombaan mengarang dan membaca karya
tulis, cerita pendek maupun karya sastra lain semenjak di bangku sekolah dasar.
Penghargaan untuk pendidik yang telah dilakukan Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa saat ini merupakan upaya yang baik agar bahasa Indonesia dapat
lebih dihargai dengan semangat kompetisi.
Upaya lain seperti pemilihan duta
bahsa pun patut diapresiasi, walaupun penulis merasa kurangnya sosialisasi
terhadap hal tersebut. Sebagai generasi muda, kreatifitas patutlah diapresiasi
asalkan tidak berlebihan. Keingintahuan anak muda yang besar sepatutnya dapat
pula disalurkan pada berbagai identitas bangsa Indonesia, termasuk bahasa di
dalamnya. Peran media massa dan elektronik pun dapat ditingkatkan, tidak hanya
untuk mensosialisasikan program-program pemerintah sehingga bahasa Indonesia
lebih memasyarakat, tapi juga menjadi contoh dan panutan dalam penggunaan
bahasa indonesia yang baik dan benar.
Referensi
Alwasilah, Chaedar. 2007. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia:
Dalam Konteks Persaingan Global. Bandung: CV. Andira.
Spolsky, B. 1999.
Second-language learning. In J. Fishman (Ed). Handbook of language and
ethnic identity (pp. 181-192). Oxford: Oxford University Press.
Suhendar dan
Supinah. 1997. Bahasa Indonesia Pengajaran dan Ujian Keterampilan Membaca
dan Keterampilan Menulis. Bandung: Pionir Jaya.
Suhendar dan
Supinah. 1997. MKDU Bahasa Indonesia. Bandung: Pionir Jaya.
·
Selamat
berbahasa Indonesia. Merdeka...!