Selasa, 15 Januari 2013

Analisis Kasus Bagaimana Upaya Agar Bahasa Indonesia Menjadi Tuan Rumah Di Negara Sendiri



Bahasa adalah kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, dan sebuah bahasa adalah contoh spesifik dari sistem tersebut. Kajian ilmiah terhadap bahasa disebut dengan linguistik. Hal yang tidak mungkin untuk mengetahui secara tepat berapa banyak bahasa yang ada di dunia, dan jumlahnya bergantung kepada suatu perubahan sembarang antara perbedaan bahasa dan dialek

Bahasa manusia adalah unik di antara makhluk hidup di bumi karena strukturnya yang kompleks mampu memberikan kemungkinan ekspresi dan penggunan yang lebih luas daripada sistem komunikasi hewan yang diketahui, yang semuanya secara umum adalah sistem tertutup, dengan fungsi-fungsi yang terbatas dan kebanyakan diturunkan secara genetis daripada berpindah secara sosial. Berlawanan dengan bentuk komunikasi selain-manusia, bahasa manusia memiliki properti-properti produktivitas, rekursif, dan pergeseran. Bahasa manusia juga satu-satunya sistem yang banyak bergantung pada konvensi sosial dan pembelajaran. Bahasa dikatakan berasal sejak hominin pertama kali mulai bekerja sama, secara bertahap merubah sistem komunikasi primata mereka bersamaan dengan memperoleh kemampuan untuk membentuk suatu teori dari pikiran dan berbagi secara sengaja.

Bahasa Indonesia Belum Menjadi Primadona di Negeri Sendiri

Bahasa adalah pengantar bagi seorang penutur. Bahasa adalah lambang dimana kita dapat berkomunikasi dengan siapapun . Bahasa menjadi jalan untuk mempertemukan pikiran, jalan keluar dan kebiasaan seseorang. Bahkan bahasa bisa mencerminkan jati diri seseorang. Bahasa yang baik adalah bahasa yang mengandung makna baik bagi si penutur maupun bagi si pendengar.

Masih banyak yang harus di perbaiki dalam berbahasa,  terutama untuk kalangan para remaja. Remaja yang notabene adalah penerus bangsa yang masih dalam masa transisi harus menentukan jalan yang lebih baik untuk masa yang akan datang. Bahasa Indonesia yang kita kenal adalah bahasa pemersatu,  bahasa yang dikenal ramah bagi para penggunanya. Namun belakangan banyak kita dengar begitu banyak pelesatan yang dipakai dalam bahasa Indonesia. Terutama untuk mengungkapkan hal-hal kecil, banyak orang menggunakan istilah - istilah yang kita impor dari negara lain. Contoh nya saja untuk mengucapkan kata “terima kasih” kita lebih cenderung mengucapkan  “thanks”, kata maaf menjadi “sorry”. Ya hal itu semata-mata dipakai agar sipenutur dianggap orang hebat atau apalah.

Belum lagi, permasalahan yang sangat pelik adalah bagi si pencari kerja. Hampir semua persyaratan yang tertulis di lowongan kerja menggunakan bahasa Inggris. Aneh memang, di negeri sendiri kita dituntut harus menguasai bahasa asing dan bahasa kita seakan-akan terasing atau diasingkan. Entah apa maksud dan tujuan diberlakukan nya persyaratan demikian. Apa karena banyak investor nya orang asing?  Sah-sah saja kalau si pelamar diminta tahu berbahasa Inggris, tapi bukan berarti itu dijadikan momok yang berkepanjangan. Saya tidak malu mengungkapkan kebenaran yang terjadi di lapangan, saat seorang pengangguran terdidik ataupun tidak dituntut untuk mengetahui bahasa Inggris.

Ada banyak hal yang telah menjadikan bangsa ini tidak lagi mengerti makna bahasa Indonesia yang sesungguhnya. Bahkan sekarang ini anak-anak yang masih berumur 3 tahun sudah ikut kursus bahasa asing. Ada apa dengan bahasa Indonesia? Apakah layak seorang anak yang masih berumur 3 tahun menekuni sebuah bahasa yang jelas-jelas bukan bahasa Ibu mereka yang sering mereka dengarkan setiap hari. Saya cuma minta para orang tua dibuka pikirannya tentang ini. Biarkan anak-anak berkembang dengan bahasa Indonesia. Jangan paksakan bahasa asing merajai bahasa Indonesia. Kadangkala, dengan bangganya seorang ibu mengatakan anak saya sudah bisa berbahasa Inggris meski baru berumur 3 tahun. Padahal Bahasa Indonesia sendiri masih harus dipelajari di usia dini seperti itu.

Dilain kasus, ada seorang guru Bahasa Indonesia yang ingin melamar di sebuah sekolah swasta, dimana sekolah tersebut menuntut agar setiap guru menguasai Bahasa Inggris. Lucu nya, bahasa Inggris dipakai sebagai bahasa pengantar pada jam pelajaran bahasa Indonesia. Wah, betapa herannya bangsa ini. Ada apa dengan pola pikir kita? Apa yang sudah meracuni pikiran kita seakan akan bahasa indonesia tidak lagi menjadi bahasa pengantar yang mempersatukan, melainkan bahasa penutur bagi bahasa yang hampir terasing.

Saya bangga menjadi salah satu bagian dari bangsa ini, terutama bagian dari bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa yang harus dikenal, dirasakan dan dipakai untuk dapat mengkomunikasikan pikiran kepada siapapun. Meski demikian saya tidak hanya membuka realita yang benar-benar terjadi di lingkungan saya sendiri, melainkan memberikan pandangan ke depan, agar kita tetap mencintai Bahasa yang telah mempersatukan siapapun yang ada di dalamnya. Mempersatukan saya yang berasal dari Aceh atau anda yang berasal dari Minangkabau, atau anda seorang Melayu atau anda berasal dari Jawa, atau anda seorang Sulawesi. Entah apa pun suku bangsa kita, jadikanlah bahasa Indonesia menjadi primadona di negeri sendiri sebagai alat bertutur yang tepat.


Mempertahankan Jati Diri di Negeri Sendiri

Berniat mengetahui tentang kedudukan bahasa Indonesia di tanah air sendiri, sampailah penulis di sebuah situs milik Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tercantum di dalamnya mengenai Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia yang notabene merupakan tes untuk mengukur kemampuan berbahasa Indonesia melaui tes tertulis dan lisan yang sasarannya adalah karyawan instansi pemerintah maupun swasta. Timbul pertanyaan apakah uji ini cukup efektif dan menarik untuk dilakukan sementara bahasa Indonesia semakin termarginalkan di tengah kompetisi global dan justru tidak dianggap lebih penting untuk ditonjolkan dibandingkan bahasa asing.

Bahasa Indonesia, Bahasa Nasional, Karakter Bangsa

Bahasa merupakan ciri utama dari identitas manusia serta simbol nasional dan identitas etnik yang kuat. Ketika mendengar seseorang berbicara, kita dapat langsung menduga gender, level pendidikan, umur, profesi dan asal orang tersebut (Spolsky, 1999). Sebagai bahasa nasional yang mempunyai kedudukan sebagai lambang kebanggaan, lambang identitas, alat pemersatu dan alat penghubung antardaerah, maka semakin bahasa Indonesia memasyarakat dan mengakar dalam diri setiap warganya, semakin kuatlah jati diri mereka sebagai bangsa Indonesia. Sayangnya, terkadang justru masyarakat Indonesia tidak merasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Kurang intensifnya pelatihan bahasa Indonesia bagi warga negara asing yang belajar di Indonesia masih kerapkali kita temui di berbagai daerah. Hal ini berkebalikan dengan Jepang, dimana negeri sakura tersebut mewajibkan pelatihan bahasa Jepang bagi warga negara asing yang belajar di negeri tersebut. Masyarakat Jepang merasa bangga dengan bahasa yang mereka gunakan, dan justru dengan arogansi bahasa itulah, kita dapat melihat cerminan jati diri dan karakter yang kuat dari bangsa tersebut. 

Terlalu Banyak Persaingan

Selain sebagai bahasa nasional, peran bahasa Indonesia sebagai bahasa negara pun semakin termarginalkan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara yang berkedudukan sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional, serta alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi terasa belum maksimal digunakan. Bahasa Indonesia seperti kurang menarik untuk dieksplorasi oleh para penggunanya. 

Kompetisi global membuat bahasa asing, contohnya  bahasa Inggris makin marak diminati, berkebalikan dengan minat terhadap bahasa Indonesia. Menurut Alwasilah (2007), tujuan pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah mempersiapkan pelaku dan pelibat komunikasi abad ke-21 sebagai abad kesejagatan dan persaingan. Bahkan dikatakan pula penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris adalah strategi kebudayaan agar mereka dapat bersaing dengan bangsa lain. Kedudukan Indonesia sebagai negara berkembang menyebabkan perdagangan bebas mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola interaksi pelaku pasar dan dengan keterbatasan pembatasan budaya asing yang masuk, perusahaan multinasional berlomba-lomba untuk menerapkan standar kompetensi penguasaan bahasa asing. 

Bahasa Indonesia dianggap tidak telalu penting untuk diperhatikan, distandardisasi dan dipelajari lebih dalam. Padahal menurut Suhendra dan Supinah (1997), seperti halnya tujuan Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia yang diadakan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia yang telah dibahas di atas, sebagai bahasa resmi  kenegaraan, penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan seperti penerimaan karyawan baru dan kenaikan pangkat.

Sementara di dunia kerja bahasa Indonesia bersaing dengan bahasa asing, lain halnya dengan lingkungan remaja yang telah dirambahi oleh fenomena bahasa gaul dan variasinya. Alasan kreatifitas, keisengan dan eksistensi suatu kelompok membuat bahasa gaul dan variasinya telah semakin diminati, tidak hanya di Jakarta sebagai kiblat bahasa gaul, berkat media sosial, bahasa gaul telah banyak digunakan di luar Jawa. Bahasa tidak baku pun semakin sering digunakan. Bahasa tidak baku yang dipakai sehari-hari bakan kerapkali dapat kita saksikan dalam wawancara dan gelar wicara yang ditayangkan televisi nasional.

Peran Kita sebagai Warga Negara

Suhendar dan Supinah (1997) menyatakan bahwa unsur-unsur bahasa yang tidak diperlukan disebabkan oleh kekaburan pembedaan kedudukan. Kedudukan bahasa Indonesia yang menjadi bahasa nasional menjadi semakin kabur jika bercampur aduk dengan bahasa Ibu dan bahasa asing. Pendidikan bahasa Indonesia seorang anak dimulai dari lingkungan keluarga. Selain bahasa ibu yang sering digunakan orangtua sebagai bahasa pengantar, sebaiknya orang tua dapat memperkenalkan penggunaan bahasa indonesia yang baik dan benar. Penanaman bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi yang digunakan sebagai penghubung dapat dilakukan semenjak dini, sementara bahasa ibu tetap dapat dilestarikan dan diajarkan berdasarkan kondisi lingkungan. 

Bahasa Indonesia sebagai bahasa kebudayaan juga semakin kabur dengan tenggelamnya karya-karya sastra, baik klasik maupun modern di tengah gempuran globalisasi. Merujuk pada apa yang dilakukan pemerintah kolonial yang membendung bahasa melayu pasar dengan mempromosikan bahasa melayu tinggi dalam bentuk karya sastra melalui Balai Pustaka, hal yang sama dapat dilakukan saat ini, baik oleh pemerintah maupun masyarakat umum. Karya sastra modern dan klasik dapat dipromosikan di berbagai acara seperti pada bulan bahasa. Bulan bahasa sendiri pada kenyataannya tidak banyak diketahui oleh khalayak luas. 

Dalam insitusi pendidikan, penghayatan anak dalam berbahasa Indonesia antara lain disebabkan oleh kurangnya minat baca dan tulis. Memperbanyak praktek mengarang dan membaca buku berbahasa Indonesia, misalnya dalam memperkenalkan karya-karya sastrawan dari era ke era harapannya dapat menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa sekaligus sastra Indonesia. Pembentukan majalah sastra berskala nasional sebagai wadah ekspresi kecintaan dan pelestarian bahasa  dan budaya Indonesia, layaknya pembentukan majalah Angkatan Pujangga Baru pada tahun 1933 pun dapat dilakukan dengan diinisiasi oleh pemerintah atau para sastrawan dan budayawan Indonesia.

Bahasa Indonesia sebagai alat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sering berkiblat dan menyerap istilah asing, akan tetapi, dalam berbagai makalah ilmiah, sering dijumpai penggunaan bahasa asing yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi pembaruan istilah-istilah asing yang telah dilakukan pemerintah dan dimasukkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kerjasama institusi pendidikan dengan lembaga pemerintahan, dalam hal ini Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dapat diupayakan, sehingga guru berbagai mata pelajaran dapat memperbarui dan berbagi istilah baru untuk diperkenalkan terhadap murid-murid. Pun sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan, guru perlu menerapkan bahasa Indonesia secara baik dan benar sebagai bahasa penghubung ketika mengajar, walaupun diawali dengan penggunaan kata-kata yang sederhana.

 Adanya uji kompetensi terstandar, dalam hal ini tes uji kemahiran berbahasa Indonesia, dapat dilakukan per jenjang pendidikan, dari sekolah dasar hingga jenjang sarjana. Uji ini dapat dilakukan bersinergi dengan ujian akhir nasional dan disesuaikan dengan kurikulum pembelajaran. Hingga saat ini, berdasarkan data pada situs Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia, uji Kemahiran Berbahasa Indonesia kebanyakan hanya diikuti oleh guru-guru bahasa Indonesia, dan tidak terhadap murid.

Pengenalan bahasa dan sastra Indonesia terhadap generasi muda dapat dilakukan dengan pendekatan yang lebih menyenangkan, seperti perlombaan atau kompetisi. Berkembang dari perlombaan menulis atau membaca puisi, dapat pula diadakan perlombaan mengarang dan membaca karya tulis, cerita pendek maupun karya sastra lain semenjak di bangku sekolah dasar.  Penghargaan untuk pendidik yang telah dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa saat ini merupakan upaya yang baik agar bahasa Indonesia dapat lebih dihargai dengan semangat kompetisi. 

Upaya lain seperti pemilihan duta bahsa pun patut diapresiasi, walaupun penulis merasa kurangnya sosialisasi terhadap hal tersebut. Sebagai generasi muda, kreatifitas patutlah diapresiasi asalkan tidak berlebihan. Keingintahuan anak muda yang besar sepatutnya dapat pula disalurkan pada berbagai identitas bangsa Indonesia, termasuk bahasa di dalamnya. Peran media massa dan elektronik pun dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk mensosialisasikan program-program pemerintah sehingga bahasa Indonesia lebih memasyarakat, tapi juga menjadi contoh dan panutan dalam penggunaan bahasa indonesia yang baik dan benar.




Referensi
Alwasilah, Chaedar. 2007. Perspektif Pendidikan Bahasa Inggris di Indonesia: Dalam Konteks Persaingan Global. Bandung: CV. Andira.
Spolsky, B. 1999. Second-language learning. In J. Fishman (Ed). Handbook of language and ethnic identity (pp. 181-192). Oxford: Oxford University Press.
Suhendar dan Supinah. 1997. Bahasa Indonesia Pengajaran dan Ujian Keterampilan Membaca dan Keterampilan Menulis. Bandung: Pionir Jaya.
Suhendar dan Supinah. 1997. MKDU Bahasa Indonesia. Bandung: Pionir Jaya.
 



·         Selamat berbahasa Indonesia. Merdeka...!

1 komentar:

  1. If you're trying hard to lose weight then you absolutely have to get on this totally brand new personalized keto meal plan.

    To produce this service, certified nutritionists, personal trainers, and professional chefs united to develop keto meal plans that are productive, convenient, cost-efficient, and fun.

    From their first launch in 2019, hundreds of clients have already remodeled their body and health with the benefits a certified keto meal plan can give.

    Speaking of benefits; clicking this link, you'll discover eight scientifically-confirmed ones offered by the keto meal plan.

    BalasHapus