Membicarakan mengenai Atlantis seolah memang tidak akan pernah ada
habisnya. Atlantis sendiri secara tidak langsung melambangkan masyarakat
utopis yang luar biasa ideal, dan inilah sebabnya peradaban ini menjadi
salah satu yang paling menarik untuk terus diteliti dan
diperbincangkan. Tempat ini disebutkan pertama kali oleh filsuf Plato
dari Yunani Kuno sekitar abad 4 SM, dan sampai sekarang tidak kurang
dari 500 buku dan film telah ditulis dan diangkat berdasarkan benua
legendaris yang konon ditenggelamkan di dasar samudra.
Selain keberadaannya yang seolah "ada tapi tiada", kontroversi ini juga
berkaitan dengan letak sesungguhnya dari benua yang ditenggelamkan ini.
Plato sendiri dalam karyanya Timeaus and Critias (ditulis pada 360 SM)
menjelaskan bahwa pulau Atlantis terhampar di seberang pilar-pilar
Hercules (yang selama ini dianggap sebagai semenanjung Gibraltar karena
menghadap langsung ke samudra Atlantik). Pulau makmur ini tenggelam ke
laut hanya dalam waktu satu malam akibat hukuman para dewa yang murka
kepada penduduk Atlantis.
Entah Atlantis versi Plato
ini hanya melambangkan suatu konsep Philosopher King dalam Republic-nya,
ataukah dulu Atlantis ini memang benar-benar ada, yang jelas pencarian
terhadap lokasi Atlantis tidak pernah berhenti.Beragam dugaan tentang
letak tepat dari benua Atlantis pun bermunculan. Berbagai klaim dan
perkiraan diajukan, di antaranya di Samudra Atlantik, di laut
Mediterania, di pulau Siprus, hingga di laut Karibia di benua Amerika.
Masalahnya, pada masa Plato (dan juga pada masa Herodotud dan
Aristoteles), Atlantik digunakan untuk merujuk pada seluruh samudra atau
lautan di seluruh dunia.
Bahkan, Plato merujuk kata
"Atlantik" ini kepada Samudra Hindia sekarang. Seolah semua kontroversi
itu belum cukup, pada tahun 2005 seorang profesor geologi dari Brazil
yang bernama Prof. Dr. Aryo Santos meluncurkan bukunya Atlantis, the
Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato's
Lost Civilization (buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh penerbit Ufuk) yang tidak kalah menghebohkan dunia.
Santos, melanjurkan hipotesis Oppenheimer, mengajukan klaim bahwa
Atlantis itu terletak di Nusantara, tepatnya di paparan Sunda atau laut
dangkal antara pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan India.
Alkisah, sekitar 10.000 tahun SM, ketika Bumi mengalami zaman es yang
terakhir, diperkirakan memang ada sebuah peradaban besar yang maju. Karena
saat itu kawasan Amerika Utara, Asia, Timur Tengah, Eropa dan sebelah
Selatan Afrika masih tertutup oleh tudung es yang luas, maka
satu-satunya daratan yang memungkinkan munculnya peradaban adalah di
wilayah tropis yang suhu udaranya hangat di samping datarannya yang
luas. Dugaan inilah yang digunakan Santos untuk mengajukan klaim bahwa
Atlantis dulunya berada di kawasan Sundaland, sebuah dataran luas yang
menyatukan India, Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Kondisi geografis
Indonesia yang bergunung-gunung serta keadaan alamnya yang subur juga
semakin menguatkan klaim Santos. Ledakan Megavolcano Toba, Krakatao,
Tambora dan gunung-gunung lain di Nusantara Purba inilah yang kemudian
menyebabkan tenggelamnya Atlantis. Buku Peradaban Atlantis Nusantara
karya Ahmad Y. Samantho dan Oman Abdurahman et. All ini ibarat bunga
rampai yang sangat komprehensif untuk menguak misteri keberadaan benua
Atlantis, terutama kaitannya dengan klaim bahwa Atlantis dulunya memang
berada di Nusantara Purba.
Bagi Anda yang
merasa buku Oppenheimer dan Santos—yang harganya di atas ratusan
ribu—terlalu mahal, maka buku ini bisa menjadi semacam penghalang dahaga
keingintahuan yang sangat memuaskan. Di dalamnya, kita bisa membaca
rangkuman atau mungkin malah pemaparan secara lebih komprehensif
mengenai karya Oppenheimer Eden in the East dan karya Santos Atlantis,
Lost Continent finally Found.
Lebih keren lagi, di
buku ini juga ditampilkan sejumlah tulisan yang lebih lokal, yakni
terkait dengan dugaan-dugaan dan/atau temuan-temuan sejumlah pakar
Indonesia dari beragam ranah keilmuwan yang intinya hendak mendukung
klaim bahwa Atlantis itu berada di Nusantara atau Sundaland. Misalnya
saja, adanya kemiripan bentuk candi Sukuh yang menyerupai piramida
bangsa Aztec, juga sebuah bukit di Jawa Barat yang diperkirakan adalah
sebuah piramida yang tertimbun tanah karena bentuknya yang sangat
simetris.
Bagian paling menarik dari buku ini bisa
ditemukan pada bab 1, 2, 3, 4, 5, 6, 10, dan 13. Dengan tidak memungkiri
pentingnya bab-bab yang lain; membaca bab-bab favorit di atas bisa
diibaratkan seperti memutar film tentang Atlantis, mulai dari
kemunculannya dalam karya Plato, hingga klaim bahwa Atlantis itu memang
berada di Sundaland.
Dalam bab-bab ini, pembaca akan
menemukan jawaban dari mengapa peradaban yang besar itu bisa musnah
tanpa meninggalakn jejak, sedahsyat apa bencana yang terjadi kala itu,
apa keterkaitan antara tenggelamnya Atlantis dengan penyebaran atau
diaspora penduduk dunia, benarkan nenek moyang bangsa-bangsa India dan
Mesopotamia itu berasal dari Nusantara, bagaimana kisah terbentuknya
selat Sunda terkait dengan tenggelamnya Atlantis, apakah pilar-pilar
Herkules yang dimaksud Plato itu adalah gunung-gunung di Sumatra dan
Jawa, dan masih banyak lagi tema-tema menarik seputar Atlantis yang luar
biasa menarik untuk dibaca.
Karena formatnya yang
berupa bunga rampai, mungkin sejumlah pembaca agak kecewa karena buku
setebal 540 halaman ini tidak melulu membahas Atlantis. Beberapa bab di
bagian belakang, bahkan membahas ranah filsafat ala Yunani yang mungkin
sengaja dimasukkan dalam buku ini karena keterkaitan erat antara
Atlantis, Plato, dan Yunani. Selain itu, masih dijumpai typo serta
kekurangsempurnaan editan di halaman 70–90. Namun, secara garis besar,
buku ini sangat memuaskan dahaga intelektual para pembaca yang
mengidam-idamkan tema-tema Atlantis yang dibahas secara komprehensif dan
ilmiah. Dan, para penyusun yang turut menyumbangkan tulisannya dalam
buku ini pun sudah terbukti keandalannya dalam ranah masing-masing.
Inilah yang membuat buku ini begitu bermutu dan berbobot. Sungguh sebuah
karya yang mengajak kita untuk meneguhkan diri kita kembali sebagai
bangsa yang besar. Dengan membaca buku ini, sejarah Nusantara mungkin
harus sedikit direvisi kembali. (IRIB Indonesia/PH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar